rss
twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Kamis, 26 Agustus 2010

THINK`S OF THE SOUL

KYOTO, 11 JULI 1945……
kupu-kupu dan negeri putih,
didayu angin putih
ode wajah putih
oiii !!!
biarlah tubuh ini dikelangkangi kabut putih
Narumi Hamamura. Menatapi langit yang mendadak mendung di pertengahan musim panas…..Memegang samurai…..terdiam! Menyusut airmata, merasakan angin semilir yang menerpa daun-daun maple. Seharusnya……Tapi angin itu serasa bagaikan sayatan pisau yang menusuk-nusuk jantungnya!
Lamat-lamat, ia mendengar suara pesawat radio yang dinyalakan keras-keras dari genkan . Lagi-lagi jurubicara kekaisaran berpidato mewakili Tenno Heika.
Narumi menajamkan pendengarannya.
“…….hancurkan Para Sekutu, wahai Putera-putera Amaterasu! Menjadi pemimpin dipenjuru wilayah Asia. Membentang dari Teluk-teluk Samudera Hindia sampai Kepulauan Kurril, dari Daratan Asia Tengah sampai Kepulauan Pasifik. …..!Bla…bla…bla…”
“Teng…! Teng…!”, terdengar suara kleneng besi tori dipukul.
“Brengsek!”, Narumi mengumpat kesal.
Di luar, seorang perwira gagah berdiri tegap dengan raut muka dingin. Kazuo, pembantu setia Si Nyonya rumah, buru-buru menyongsongnya. Kakinya berdebum menuju tori dengan langkah tergesa.
Beberapa detik kemudian, bunyi pagar tori dari kayu eik itu berderit pelan. Lelaki pendek itu membuka lebar-lebar pintu pagar untuk Tuannya.
“Siang, Tuan!”, salamnya sambil berkeirei pada perwira itu.
Acuh! Demikian sekilas sikap Ryuzo Hamamura –nama perwira tampan itu- terlihat. Tak ada ekspresi apapun, kecuali sinar matanya yang senantiasa tajam namun tertutup pendar-pendar pedih dan keterasingan. Ia hanya mengangguk dengan isyarat mata saja pada Kazuo, lalu bagai angin berhembus,…setelah lewat, ia lenyap begitu saja tanpa berkata apa-apa.
Kazuo hanya mampu mengurut dadanya yang tiba-tiba terasa disesaki oleh perasaan iba pada suami dari Nyonya dimana dia menghamba.
Di siang yang muram itu, Narumi sedang menanti perwira itu di taman belakang. Ia duduk di atas tatami dengan posisi siap lengkap memegang samurai kesayangannya.
Beberapa saat kemudian , Ryuzo telah berdiri didekatnya, sambil mendekapkan kedua lengan kokohnya, menghadap tegap ke dahan-dahan pohon plum merah.
Perwira itu sebetulnya sangat tampan dan menawan, bisik Narumi kecut. Tapi sayang….. Meski telah resmi menjadi suaminya sejak Ekspansi Pearl Harbour……Meski ia sempat terpesona pada lelaki itu pada perjumpaannya yang pertama…….Meski seluruh handai taulannya memuji-muji perjodohannya dengan Ryuzo sebagai nasib baik dan keberuntungan…….Namun, Narumi justru muak kepadanya. Padahal sudah sejak sembilan tahun yang lalu ia telah berkenalan dengan lelaki itu, dan bertemu kembali dalam satu legiun dengannya, ketika masih sama-sama jadi kadet ketika Perang Pasifik mulai meletus.
sungai arogansi, sayang…
adalah denyut galau tak bermaya

yang kesunyiannya kau rupai sendiri

seperti dadaku yang digores kenangan

pahit,manis,masam,asin….

pun hanya getir,

padahal senyap saja,

sungguh tak berasa!!!!

Sudah hampir empat tahun…..Pun beberapa musim yang silih berganti telah menemani kebersamaan keduanya.…..Dan dalam waktu selama itu, tak ada kemesraan yang benar-benar tulus. Tak ada desir kerinduan ketika harus berjauhan setiap kali bertugas ke kawasan-kawasan Nanyo. Tak ada rasa saling peduli.
Tak ada apapun. Kecuali sesuatu yang harus dipertahankan demi gengsi dan harga diri dua keluarga bangsawan yang konon keturunan Samurai dari Zaman Edogawa. Begitupun hubungan suami istri , tidak lebih hanya sebagai media pelepasan gairah sesaat ketika libido sudah sama-sama naik di ujung kepala.
Bagi Narumi, Jeff lebih menyentuh kisi-kisi hatinya dan sensifitasnya sebagai seorang perempuan. Jeff…. meski dengan aroma tubuh yang asing, senyum yang khas, perawakan yang tidak lazim dengan orang Jepang pada umumnya, tapi……Narumi dapat mengembangkan kedua lengannya untuk menerima Jeff bahkan dengan menutup mata.
So what ? Apa yang salah dengan pernikahannya? Mengapa ia sebagai seorang istri, tak merasa ada sesuatu yang mengikatkan hatinya pada hati suaminya, sehingga hatinya dapat demikian merdeka untuk mengikatkannya pada hati lelaki lainnya? Narumi tak habis pikir pada apa yang sedang berkecamuk dalam jiwa dan jalan hidupnya. Hingga untuk melangkah dan mengambil keputusan, ia terlampau sering lebih percaya pada perasaan dan emosinya dari pada akal sehat dan nalurinya sebagai seorang prajurit negara. Jadi bagaimana ia harusnya?………
rinai tawa yang sederas hujan
pun isak yang terbungkam
tertindih kebyar jingga cakrawala
ketika rintih terkubur bisu
dan sapa cinta menjadi seribu gagu
Narumi tenggelam dalam pikiran-pikiran absurdnya sendirian, seolah tak menginsyafi kehadiran Ryuzo di dekatnya. Padahal….Bukan begitu…Hanya saja……Ia cuma…..
“Jadi, kita harus berpisah dulu untuk sementara ini,”ujar Perwira itu, membuyarkan pikiran Narumi yang asyik terbang kemana-mana.
“Aku akan ke Shanghai siang ini juga,”lanjutnya lagi.”Aku dengar Surat Perintah Penugasanmu ke Surabaya juga sudah turun. Jadi…”
“Jadi sebaiknya Ryuzo San segera berkemas.” Sahut Narumi cepat .“Sebab seperti biasa, Penasehat Tenno akan mengadakan upacara khusus sebelum pemberangkatan.”
Perwira yang dipanggil Ryuzo itu, tersenyum kecut. Ada kepedihan yang dalam di sudut hatinya. Sebetulnya ia tertarik dengan perempuan ini sejak sama-sama jadi kadet dulu. Tapi aku ini seorang laki-laki, sergah hatinya saat akhirnya ia tahu Narumi dipinangkan untuknya. Masa ini, menjadi suami seorang Staf Kaigun, sungguh memalukan. Ryuzo menganggap martabatnya jatuh karena pangkat Narumi lebih tinggi darinya.
Sesungguhnya, Ryuzo yang tampan dan gagah menawan itu, tak lebih dari seorang lelaki yang kesepian. Namun ia malu memohon kasih sayang pada perempuan yang ia sayangi hanya karena merasa jatuh martabat. Satu-satunya yang baginya sedikit menguntungkan adalah: setelah Ekspansi Pearl Harbour, ia tak pernah lagi ditugaskan di satu kawasan dengan istrinya. Sebab itu akan menjatuhkan harga dirinya di hadapan rekan-rekannya.
Namun demikian, ia tak ingin melepaskan keterikatan dengan istrinya sama sekali. Pun yang tersisa hanyalah ikatan formal diatas sehelai dokumen resmi belaka. Namun….Aroma tubuh itu, desah nafas itu, sorot mata itu,…..Meski cumbuan-cumbuan itu……Hanyalah kehangatan gairah tanpa emosi, seperti halnya raga tak berjiwa……Hanya warna-warna kamuflase yang sesaat mencerahkan kepenatan hari-hari yang penuh tekanan irama peperangan….. Tapi sungguh! Terlampau dalam asanya pada perempuan itu. Sehingga sikap dingin dan kaku Narumi, menjadi pisau yang tajam mengiris ego kelelakiannya.
lunglai langkah itu
melalui setapak sunyi
merindui waktu yang bagai mimpi
sakura……….
menyongsong dicumbui musim semi
selaksa samudera dibumbui buih-buih
Dengan langkah tegap dan bergegas, Ryuzo menuju biliknya. Susah payah ia menahan diri untuk tidak menitikkan airmata. Hatinya hancur dengan sikap angkuh dan dingin perempuan, yang diam-diam mulai sering mengisi angan-angannya. Ia merasa harus tetap bertahan seperti yang sudah-sudah. Sekali lagi, ini hanya demi harga diri!
kebisuan………
adalah dongeng malam tanpa bulan
ketika berjuta kalimat mengalir,
ia……..
terhenti di ujung waktu
seolah sungai musim dingin pada titik beku
menahan air mata di ambang kelopak
sungaiku…… kehilangan gerak!
Lelaki itu telah hengkang dengan membawa serta luka batinnya yang berdarah-darah dalam sebuah bejana ragawi yang kokoh dan rongkah. Seakan menafikan patahan-patahan rindu dan cintanya dengan sikap dingin dan angkuhnya. Mengurung diri dalam biliknya yang luas dan sepi. Menjelajah hari-hari menjelang hari pernikahannya yang waktu itu sungguh-sungguh seperti di titian akhir menuju siksa dan terali yang direncanakannya sendiri. Meninggalkan dengan begitu saja sosok Narumi di halaman belakang itu dalam kesendirian.
…………………………………………� �…………………………………………� ��
“Mengapa kamu masuk Akademi Militer? Itu adalah tempat bagi laki-laki!”
Ryuzo tak akan lupa betapa kecewanya ia saat itu dan begitu berangnya ekspresi wajah gadis itu padanya. Jelas ia kecewa. Sebab setengah jam setelah pertunangan itu, ia baru tahu jika calon istrinya itu talah berdinas di Kaigun. Dengan pangkat Kapten pula!
“Tapi aku termasuk lulusan terbaik di kesatuanku!” sergah Narumi lebih keras.
“Memangnya apa arti terbaik bagi seorang perempuan sepertimu? Siapa yang tahu jika selama menjadi pelajar, kamu bisa saja menggunakan pengaruh Ayahmu! Ini perang! Dan kancah peperangan bukan tempat yang pantas untuk perempuan!”
“Ryuzo!!! Kamu sangat meremehkan aku! Sejak kecil aku sudah menjadi ahli kendo dan satu-satunya putri Ayah yang memiliki kemampuan untuk menjadi samurai! Lagipula, semua sudah kami rencanakan jauh-jauh hari sebelum kita bertemu. Memangnya apa yang salah?”
“Maaf…….”suara Ryuzo melunak.”Kumohon….Segeralah mengundurkan diri dari Kesatuan! Kasihanilah jiwa lelaki ini yang terancam kehilangan harga diri jika menjadi suamimu kelak! Haruskah aku ber keirei padamu? Aku bersedia melakukannya, asal…..!”
“Tidak tahukah kamu, aku mungkin telah sangat tertarik padamu? Tapi demi Ayahku, leluhurku,……Keluargaku tak punya anak lelaki yang akan meneruskan nama keluarga dan melanjutkan kehormatan leluhurku. Jangan paksa aku memilih, Ryuzo! Sebab kamu pasti tahu mana yang akan kupilih. Maafkan aku…….”
“Tapi aku tidak mungkin mengakhiri ikatan ini!” Ryuzo terkapar dalam kemasygulan. “Tak adakah jalan lain…..?”
Narumi menggeleng lemah.”Sekali lagi, maaf!’
“Apa yang dapat kukatakan pada Ayahku mengenai hal ini? Aku tidak bisa melemparkannya ke dalam rasa malu, jika kita harus mengakhiri hubungan antar keluarga ini. Aku tidak dapat melihat Ibuku bersembunyi di balik pintu ketika seluruh kerabat menanyakan dimana menantunya berada nanti. Tapi, mengapa kau tidak dapat mengerti……..Ini…….Bagero!”
“Akupun tidak punya pilihan,Ryuzo,”Narumi berujar lirih.
Ryuzo menitikkan air matanya yang selama ini terasa mahal untuk ditumpahkan. Kemelut yang begitu tiba-tiba merundungnya, mencampakkannya dalam kehampaan maha luas seolah tak bertepi.
“Ryuzo…..”bisik Narumi memelas ,”Kurasa, kita tak bisa menghindar lagi. Semuanya harus kita jalani dan hadapi. Aku rela jika……Pada akhirnya……Ikatan ini hanya demi…..Sebagai jalan untuk berbakti pada keluarga masing-masing.”
Ryuzo mengangkat wajahnya. Menatap dalam pada wajah gadis itu yang menengadah padanya dengan gurat yang tak dapat ia uraikan dengan penjelasan apapun.
“Sini! Kugenggam tanganmu! Mari kita bersulang untuk kebohongan yang akan kita jalani……Entah sampai kapan……Jangan bilang tidak! Selain jika kamu punya jalan lain! Atau ……Jika kegilaan yang lain dapat melepasmu dari dilema ini!”
“Ah,…..Bagero! Bagero! Tapi….Apa daya….? Bagero!”Ryuzo meratap lirih.
Narumi tersenyum kecut, menyembunyikan hancurnya kuncup yang ludes dihempas kenyataan. Ryuzo melihat kehancuran itu samar-samar dalam bulu mata Narumi yang membasah.
“Ya! Bagero! Kau….Aku….Bagero!”ucap gadis itu lagi, membenarkan umpatan Ryuzo.
Ryuzo tertawa terbahak-bahak! Tapi tawa itu lebih mirip keluhan yang melengking melampaui puncak-puncak menara puri.
Malam itu, di beranda belakang Kediaman Goratsumoto, Ia dan calon istrinya itu, begadang sepanjang malam…. dengan menikmati rasa sakit masing-masing…. memeluk kekecewaan…. menghias diri dengan senyum seringai yang dipaksakan…. menenggak bercawan-cawan sake…. hingga terkapar dalam kebisuan dinding-dinding tua puri yang angkuh mencengkau dataran berbatu pinggiran Himeji yang sunyi.
Seperti halnya yang terjadi di beranda yang temaram itu, di ruangan utama puri mungil itu, dua keluarga terkemuka sedang berpesta dengan aneka jamuan dan bercawan-cawan sake pula, merayakan kebahagiaan yang sekarang –tanpa mereka tahu, telah- menjadi reruntuhan di hati calon mempelainya.
…………………………………………� �…………………………………………� ��
Ryuzo menahan tubuhnya yang bergetar kuat, menelan fragmen pahit itu mentah-mentah kembali, setelah termuntahkan dari ruang gelap ujung memorinya.
pulanglah, camar Osaka!
ke rongga-rongga karang saat pasang
mencumbu denyut ibu
yang tersisa di kelopak ombak
berlindung dari sakit langit
yang memerah disayat jingga surya
Ugh! Ryuzo tergugu………! Seolah dinding-dinding biliknya, menghimpit sesak di dadanya.
Sementara itu, Narumi menarik nafas panjang-panjang. Dadanya bergemuruh hebat. Selalu begini. Dalam kebekuan yang terjadi diantara mereka, Narumi justru merasa gelisah dan ia mulai berpikir yang macam-macam. Khususnya niatnya meneruskan affair dengan Jeff -jika kondisi memungkinkan- pasti selalu berputar-putar di kepalanya. Entah walau sekedar romantisme kosong, atau bahkan sebuah pengharapan yang dimuati andai kesungguhan.
Diam-diam, sepenggal kisah tragis yang sempat melengkapi cerita indahnya bersama Jeff, menyembul dari kehampaan hatinya di hari musim panas itu…….Menyeruak dari balik pintu kenangan, menuju ke kegelisahan kontemplatiknya……Menderu bagai angin yang menyerbu kesepiannya tanpa terbendung lagi…….Mengembarakan jiwa bimbangnya seperti camar yang haus mengarungi samudra…..Terbang…..Kian jauh……
…………………………………………� �…………………………………
“Mengapa harus kau dan aku?” tanya Narumi sedih
Jeff mnyapukan pandangannya ke laut lepas. Senja itu, di bibir Pantai Perak, langit dibalur warna jingga. Sesekali suara kapal perang bergaung membuncahkan suasana Pangkalan Militer Tanjung Perak yang terkadang lengang itu. Hari Sabtu, sebagian besar serdadu berbondong-bondong ke barak-barak yang dihuni para Geisha untuk mengumbar hasrat birahi mereka yang terjejali doktrin-doktrin pembenaran pada penindasan atas nama ‘kecintaan’ pada negara dan kekaisaran. Sama saja dengan Pemerintahan Hindia Belanda, begitu menurut Jeff. Hanya saja, Pemerintahan Dai Nippon lebih tak manusiawi dan keterlaluan, meskipun tak terlalu banyak ada bedanya. Jeff melirik perempuan yang menjadi salah satu bagian dari kaki-kaki kokoh Dai Nippon itu. Wajahnya masih terbalut kesedihan. Tapi seperti biasa, ia tetap berusaha tampak tegar dan acuh.
“Mengapa….?” gumam perempuan itu lagi. Kali ini seolah lebih tertuju pada dirinya sendiri.”Mengapa aku begitu sayang padamu? Mengapa kau begitu perhatian padaku? Mengapa kita….? Akh!!! Begitu luas dan dalam jurang perbedaan kita. Begitu……”
“Sudahlah….!”, sergah lelaki itu lirih. “Kenapa membicarakan hal yang menyakitkan? Sebaiknya…..”
“Tapi itu benar, Sayang! Ini adalah kenyataan….”
“Perasaan kita juga kenyataan. Dan itu jauh lebih penting daripada jurang yang.….”
“Tak mungkin ada yang mampu menjembatani jurang itu…..”
“Persetan dengan jurang, atau apapun yang kau bicarakan itu!”
“Lantas…..?”
“Omong kosong apa yang kau cemaskan, Sayang? Aku dan kamu…..Kita saling….Rasa kita, debar kita, keindahan yang kita rasai berdua, mimpi, dan …..kenangan yang tersimpan jika kita berpisah kelak……Tidakkah semua itu begitu berharga, hingga tak ada satupun dari kita yang harus merasa kehilangan?”
“Tapi….?”
“Engkau dan segala hal tentangmu, adalah bagian terindah dalam salah satu babak kehidupan yang pernah aku jalani selama ini. Bagaimana, dimana dan bahkan dengan siapapun aku nanti, kau tetaplah seseorang yang memiliki arti khusus bagiku. Bukankah demikian pula denganmu? Kita tidak dapat menolak kenyataan. Tapi kita juga tak dapat mengelak dari hasrat perasaan. Jadi….”
“Akan kusimpan dan kucumbui engkau dalam hatiku.”
“Selama kau hidup di hatiku, aku akan tetap berusaha hidup untukmu.”
“Dan selama kita berpisah, aku akan……………….”, Narumi tak sanggup menuntaskan kalimatnya. Suaranya tercekat di kerongkongan. Air matanya mengalir begitu saja tanpa dapat ia tahan lagi. Jemarinya mengepal erat dan pundaknya terguncang menahan isak. Matanya nanar menatap ujung cakrawala yang direngkuh lautan Selat Madura. Asanya serasa kandas ke dasar samudera.
Jeff memeluk tubuh itu erat-erat. Menghujaninya dengan kecupan-kecupan kepedihan. Di mana Nanyo dan di mana Salatiga, keduanya tidak tahu akan kemana nasib, politik dan peperangan akan menempatkan sisi kisah-kasih mereka.
Perlahan, Narumi melepaskan dekapan lelaki itu dengan menahan nyeri di ufuk kalbunya. Jeff ingin bilang ‘jangan menangis’, tapi…..ada yang meleleh dari kelopak matanya. Dan harusnya ucapan itu lebih tepat untuk dirinya sendiri daripada perempuan perkasa itu.
Narumi mengusapkan jemarinya pada wajah lelaki itu dan berbisik lirih, “Menangis saja. Tak apa. Air mata tak akan menghapus kelelakianmu. Terkadang air mata mampu berbicara lebih banyak daripada kata-kata. Biarlah hari ini….. Perasaan kita ……Berucap dengan bahasanya yang mengalir seperti anak sungai yang meleburkan isi hatiku padamu.”
“Narumi…..?”, Jeff menatap wajah perempuan itu. Air mata tergenang di sana. Namun mata teduh itu menelangsakan batinnya.
Dengan langkah berat, Narumi beringsut menjauh. Memandangi lelaki itu dengan segurat senyum yang disunggingkan dengan susah payah. Sampai beberapa belas tombak, Narumi menghentikan langkahnya dan melihat lelaki itu dari jauh.
Jeff diam disana. Menatapnya, terkadang menggeleng lemah dan menatapnya lagi. Mungkin juga air mata Jeff belum mengering. Atau bahkan masih mengalir. Narumi tak mampu lagi memperhatikannya dengan detil. Hanya beberapa belas tombak! Tapi sosok lelaki itu seolah telah begitu jauh.
Hingga menit demi menit berlalu. Keduanya berdiri tegak……Saling menatap di kejauhan……Membiarkan hati mereka dilebur tangis……Dan anak-anak rambut keduanya yang dipermainkan angin laut yang berhembus kencang……..Padang rumput Pangkalan MiliterTanjung Perak……….Lautan Selat Madura……..Bangau-bangau yang berkerumun di sepanjang pantai……Dan ujung reranting komunitas mangrove yang berayun mengikuti siulan duka sang angin……..Menyaksikan detik-detik perpisahan itu ……Khidmat……Mengiris hati……Seperti pisau yang menikam jantung…….Ugh….!!!
Hingga akhirnya serombongan serdadu menjemput lelaki itu dan membawanya pergi. Narumi menelan ludah ke kerongkongannya yang mendadak terasa kering..Gyo, asistennya saat itu menghampirinya. Setelah membungkuk takzim, ia berdiri disisi perempuan itu.
“Kita harus kembali ke kantor, Nyonya. Ada berkas-berkas penting yang harus ditandatangani berkaitan dengan Jefferson Miller San. Dia sudah harus dipekerjakan di Salatiga besok siang. Staf Syucokan setempat membutuhkan seorang dokter. Kebetulan belum ada dokter Dai Nippon yang dikirim kesana.”
“Aku berharap, ia tidak mendapat perlakuan seperti budak. Meski harapan itu tipis, tapi….”
“Kuatkan hati, Nyonya! Inilah perang. Dia adalah bangsa yang kepentingan negaranya bertolak belakang dengan kepentingan negara kita. Kita adalah anak-anak Tenno Heika dan hamba Nippon. Kita harus setia pada-Nya dan cita-cita mulia Hakko Ichi U, dengan seluruh jiwa raga dan harga diri kita.”
Narumi menghembuskan nafasnya kuat-kuat. Gyo telah menyodok ulu benaknya. Mengantukkan mimpinya pada kenyataan yang telah bersinergi dengan jalan nasibnya hingga detik ini. Ya! Ia seorang Nippon! Nippon dalam arti yang sebenar-benarnya! Bahkan oleh seorang Nippon tulen pula,Ryuzo….. telah mengikat status sosialnya sebagai Nyonya Hamamura.
Detik demi detik berjalan seirama langkah Jeff menuju truk tentara yang menanti dirinya. Sesekali ia menoleh pada perempuan itu yang melihatnya dari jauh. Gyo mengangguk padanya, seolah berkata bahwa perempuan itu akan baik-baik saja dan Jeff percaya pada lelaki paruh baya itu. Gyo akan menutup mulutnya tentang segala skandal yang terjadi diantara keduanya! Gyo setia pada persahabatannya dengan Jeff dan setia pada pengabdiannya pada Narumi.
Gerimis turun ditingkahi angin laut yang semakin kencang berhembus. Narumi menyeka wajah basahnya dengan punggung tangannya. Tubuhnya bergetar menahan isak yang hendak meletup-letup menuju ledakan tangis yang dahsyat. Mati-matian ia bertahan. Gyo trenyuh!
“Saya tunggu di mobil, Nyonya!”, kata lelaki berumur itu sambil meninggalkan atasannya yang sibuk bergulat dengan dirinya sendiri.
Gyo tak tega melihat adegan menyedihkan itu. Ia biarkan Narumi sendiri. Mungkin saat ini, yang demikian lebih baik untuk perempuan itu.
Sementara itu, mesin truk telah menderu. Jeff akan betul-betul pergi! Dada Narumi berbuncah-buncah seiring deru mesin yang mulai menggerakkan roda-roda truk militer itu menjauh, meninggalkan Pangkalan Militer Tanjung Perak menuju Salatiga. Dan sejurus kemudian, bayangan truk itu telah hilang di kelokan. Kali ini, dada Narumi benar-benar terasa meledak!
Ia tersungkur ke tanah …..Menangis sejadi-jadinya……Melepas segala sesak dan pilunya…..Menumpahkan kepepatan batinnya……Bergumul dengan idealisme dan cintanya…….Menjatuhkan kesalahan pada Tuhannya…….Mengutuki martabatnya……..Meratapi keindahan hidup yang sekejap telah direngkuh kejamnya misi Perang Asia Pasifik!
Ahhhh….!
…………………………………………� �………………………………
Narumi menarik nafas panjang. Segala sesuatu tentang Jeff tertanam sangat kuat di peraduan sanubarinya. Ia merasa ada yang hilang dalam hidupnya. Lelaki itu pergi dengan membawa sebagian dari warna-warna kehidupannya. Meninggalkan sekedar kenangan yang hanya mampu ia selami dalam imajinasi namun tak sungguh-sungguh mampu ia sentuhi secara ragawi.
Bergelut dengan romantisme itu…….Jeff itu……Kisahnya dengan Narumi itu……Malam-malam yang hangat dan mengesankan itu……Kata-kata menyentuh yang meluncur dari bibir dokter itu……Genggaman tangannya yang menentramkan itu…..Dekapan kukuh itu…...Bahu yang ia sandari dengan setiap kegundahan itu.. ….Itu……Itu sangat…..Sangat……Sangat…..
Ah! Perempuan itu menggigit bibirnya kuat=kuat. Bayangan kenangan itu datang dan pergi meningkahi saat-saat sendirinya, atau jika kebekuan mengungkungi setiap kebersamaannya dengan Ryuzo. Sebuah kesemuan yang tak terhindari dan harapan kosong yang tak bertepi.
hadirmu……
aroma cytrus pengharum ruangan
semerbak sesaat…..
lalu perlahan menguap,
diculik angin timur menuju barat
menuju lekuk gunung yang temaram dan tak berpenghuni
seperti pucuk cemara yang ditanggalkan desau lirih
Angin musim panas yang sejatinya begitu riang dan hangat kembali berhembus. Kali ini sedikit lebih kencang………Namun……... Narumi menggigil sedih. Ia merasa hidup dalam kesunyian.

SURABAYA, 1 AGUSTUS 1945……..
Narumi maupun Ryuzo sama-sama menyadari, kekuatan Sekutu tidak bisa dianggap enteng. Namun keduanya sama dengan anggota milisi Jepang pada umumnya : Sangat Berani dan Tidak Takut Mati!
Medan laga tak mengajarkan mereka untuk memiliki rasa belas kasih. Doktrinasi Militer tak mendidik mereka dengan kelembutan dan kasih sayang. Kepentingan negara, misi politik dan ekonomi serta kehormatan Dai Nippon sebagai kepanjangan tangan kekaisaran, diatas segalanya. Atas nama Amaterasu Omikami, Hokojin dan kehormatan diri, setiap prajurit bangga mempertaruhkan nyawanya (dan nyawa pihak lain tentunya ….?).
Ketika Narumi menempati rumah dinasnya di Bubutan, Dokuritsu Junbi Cosakai sudah mulai bekerja dengan intensif. Dai Nippon harus bermanis-manis dengan Tokoh-tokoh Pergerakan dan kembali mempopuliskan orang-orang yang duduk di Chuo Sangi In untuk memikat hati rakyat yang terlanjur menjadi apatis dengan segala propaganda Pemerintah Nippon.
Penyebarluasan propaganda itu dibebankan kepada Sendenbu. Akan tetapi, mereka tidak lagi diindahkan oleh rakyat pribumi sebab tokoh-tokoh pergerakkan yang kharismatik satu persatu menyatakan keluar dari keanggotaan Jawa Hokkokai. Lagipula kehidupan mereka yang sangat jauh dari kata layak, menyebabkan tiada lagi semangat bushido dalam diri mereka untuk turut serta mengambil peranan dalam Perang Suci. Padahal, Jepang teramat sangat membutuhkan dukungan segenap kaum Bumiputera dalam persiapan menghadapi serangan Sekutu.
Kegiatan Romusha dilaksanakan secara lebih intensif ke sektor pertahanan. Produksi minyak pelumas pesawat terbang dari pohon jarak semakin diperbanyak. Areal pertanian disulap menjadi kebun-kebun kaliki. Dan terowongan-terowongan rahasia serta gua-gua persembunyian yang cukup nyaman, aman dan serba komplit dibangun di sejumlah lereng pegunungan. Bersamaan dengan semua itu, ratusan mayat romusha berjatuhan menjadi sebuah resiko yang terlihat ‘wajar’ di mata sejumlah besar perwira dan serdadu Rikugun.
Narumi melihat semua kekejaman dan pemerasan terhadap manusia-manusia Indonesia, sungguh-sungguh sedang di puncak titik batas kemampuan kemanusiaan mereka. Kekhawatiran akan kekuatan sekutu meraup satu demi satu wilayah pendudukan Pemerintah Dai Nippon, membuat segenap pejabat militer di To Indo jadi lebih seenaknya menggunakan tenaga Kaum Bumiputera. Lagi-lagi, dalih atas nama Perang Suci!
Terkadang, perermpuan itu merasa risih dan malu melihat segala yang melampaui batas akal sehat rasa kemanusiaanya terbentang demikian gamblang di pelupuk matanya. Mungkin juga beberapa perwira yang seangkatan dengannya di Kaigun. Tapi…. Inilah…..Dari kehausan politik dan ekonomi……..Mempersembahkan serangkaian ekspansi hamba-hamba Amaterasu…….Setelah Bushido, melaksanakan Kamikaze, lalu jika amanat dari Tenno Heika tidak dapat dijalankan dengan baik……Setiap perwira yang gagal harus mendapatkan kembali kehormatannya dengan Harakiri!
Ugh! Narumi menyeringai kecut pada dirinya sendiri. Menginsyafi pilihan hidup yang dipilihnya sendiri untuk memilisikan dirinya, sebagai penyelamat bagi kehormatan dan cita-cita luar biasa sang Ayah. Demi mengingat semua itu, ia…….Kini…….Akhirnya…….Kakinya, menopang tubuh femininnya seperkasa kaki Fujiyama menancap ke perut bumi!
Ini hari pertama………….!!! Ia coba benamkan kembali gairah keksatriyaan dalam kalbunya. Menghalau suara hati yang mengemiskan rasa belas kasihnya.
Narumi hanya singgah sebentar di rumah dinasnya yang dijaga ketat anak buah Syudanco Rahmad. Mereka ini menaruh hormat pada Narumi, mengingat Narumilah satu-satunya Staf Kaigun Gunseibu yang dikenal paling simpatik terhadap para tentara PETA yang pernah dididiknya satu setengah tahun yang lalu.
Selanjutnya, seorang ajudan hari itu juga tiba untuk menjemputnya menuju sebuah rumah di Kembang Jepun. Rumah seorang brigadir yang akan menjadi atasannya.
Sepanjang perjalanan, Narumi memandang keluar jeep dengan perasaan tidak menentu. Ia teringat yang terjadi dengan kota ini tiga setengah tahun yang lalu. Ingat pertama kali matanya terpaut pada sosok seorang dokter bule yang begitu sombong menatap setiap serdadu Nippon yang menghunuskan sangkurnya. Ingat setiap ucapan lelaki itu yang lantang namun sanggup memadamkan api yang berkobar-kobar dalam dadanya.
Sudah lama sekali, sedangkan segala peristiwa begitu cepat bergulir. Dan terlampau banyak yang telah ia lalui, hanya berkawan kenangan tentang Jeff semata. Meski itu menyakitkan, namun ia menikmatinya seperti kenikmatan candu yang mematikan. Seolah Jefflah pahlawan besar yang bertahta sebagai nyala obor yang menyulut segala gairahnya. Ia mengenang sekaligus merinduinya. So………… Dimana lelaki itu sekarang?, batin Narumi sedih.
dia adalah bintang terang
berpendar menerangi jiwa bisu
seperti ruh pada tubuh dan aroma angin pada buluh
dahaga…..!
tak hendak usailah
lompati musim yang bergegas
hingga tinggal jejak samar
pada pohon
pada tanah
pada air…dan….
padaku !
Tanpa ia sadari, lamunannya telah merangsek jauh menuju kepingan-kepingan kenangan yang tercerabut dari bingkai ingatan titik bawah sadarnya.
…………………………………………� �……………..
Ketika itu, 1942………
Pada 8 Maret, Letnan Jenderal H. Terpoorten –atas nama Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda- menandatangani pengakuan kekalahannya terhadap Letnan Jenderal Hitosyi Imamura –seorang Saiko Shikikan-, di Kalijati, Subang. Sebagai pihak pemenang perang, Dai Nippon dapat dengan mudah berbuat dan bersikap apapun terhadap pihak yang kalah. Mulai dari menyosialisasikan peraturan baru, melucuti senjata pihak lain, menawan, menyiksa, bahkan membunuh.
Narumi saat itu hanya sebagai staf elit Kaigun yang diperbantukan di regu tembak Satuan ke-16 Eskader Nanyo. Sebetulnya Narumi kesal dengan jabatan itu. Cuma mentereng namun sangat kurang menantang. Tapi apa boleh dikata, secara kultural posisi perempuan masih under estimate dalam pola pikir hirarki sosial mayoritas bangsanya. ………Namun di sisi lain ia juga bersyukur, karena posisinya itu ia untuk pertama kalinya mendapat kesempatan untuk memiliki sebuah perasaan khusus terhadap laki-laki. Dan lelaki itu adalah Jeff.
Ada sesuatu dalam diri lelaki itu yang mengetuk sisi-sisi nalurinya sebagai seorang perempuan. Ada sesuatu yang sangat spesial dari seorang Jeff sampai ia tidak perduli dengan statusnya sebagai Nyonya Ryuzo Hamamura.
Saat itu, Jeff bekerja sebagai seorang dokter yang ditempatkan di Rumah Sakit Undaan. Sebelum Dai Nippon berkuasa, rumah sakit itu adalah sebuah Rumah Sakit Katolik, dimana sebagian pekerja dan pengelolanya adalah orang-orang kulit putih. Setelah Jepang menduduki Surabaya, rumah sakit itu beralih menjadi Rumah Sakit Umum. Banyak diantara pengelola dan pengurus rumah sakit yang ditawan, dibuang, bahkan dipaksa ikut romusha. Dan Jeff adalah satu diantara para tawanan itu. Bahkan Narumi mendengar bahwa Jeff akan dimasukkan dalam daftar orang-orang yang akan dikirim sebagai romusha.
Entah mengapa, tiba-tiba ia ingin menyelamatkan lelaki bule itu. Padahal, baru sekali ia bertemu dengannya. Itupun terjadi ketika ia mendampingi satu kompi detasemennya ketika mengepung rumah sakit itu. Setelah mendengar kabar itu, esoknya ia langsung menggunakan pengaruhnya sebagai seorang staf kehormatan, untuk mengeluarkan surat perintah khusus guna menghadapkan pria Amerika itu padanya.
Pagi-pagi sekali ia menunggu Jeff sebagai tawanan pribadinya. Lelaki itu datang dengan penjagaan ketat selusin serdadu Nippon.. Narumi duduk tenang di balik meja kerjanya sambil menatap mata lelaki itu.
Raut mukanya tak mengekspresikan kegentaran sedikitpun. Jeff justru terlihat tidak perduli dengan ujung bayonet yang dihunuskan disekitar punggung kekarnya.
Narumi mengambil sebuah pistol dari laci mejanya. Lalu menyuruh rombongan serdadu itu pergi.
“Kamu sudah tahu untuk apa kamu dibawa kesini?” tanya Narumi kalem
“Ya”, jawab Jeff cuek. “Aku telah diserahkan padamu sebagai tawananmu. Berikutnya, kamu akan memperlakukan aku sebagai budakmu sebagai imbalan atas terhindarnya aku dari romusha.”
“Kamu sinis sekali Jefferson Miller San. Aku, dibalik kekuasaanku dan keterampilanku sebagai seorang militer, tak lebih hanya seorang perempuan biasa, lengkap dengan rasa ketertarikanku kepada lawan jenisku. Jadi, aku hanya ingin……..”
“Menjadikanku sebagai pemuas nafsumu?” sahut Jeff dingin,”Sama seperti para jugun ianfu? Dan setelah kamu bosan, kamu akan melemparkan bangkaiku ke comberan! Itulah kelakuan binatang tentara bangsamu yang paling sering aku dengar. Dasar Perempuan Lacur!”
Narumi menggelengkan kepalanya lemah. Ucapan orang berkebangsaan Amerika itu menyakiti perasaannya. Namun ia tidak marah. Ia justru sedih.
“Tuan, aku masih perawan. Aku adalah seorang istri dari seorang perwira Angkatan Udara. Aku sungguh tertarik padamu dan tiba-tiba saja aku ingin menyelamatkanmu. Jadi jagalah ucapanmu! Jika aku mau, aku tidak perlu meralat umpatanmu seperti ini. Melainkan membiarkan ujung samuraiku merobek perutmu atau peluruku menembus batok kepalamu. Aku tidak suka basa-basi terlebih menyangkut apa yang kupikirkan dan apa yang kurasakan. Jika seorang pecundang seperti dirimu tidak mampu berterimakasih, setidaknya diamlah!”
Lelaki itu mengerjap-ngerjapkan matanya. Bingung!
“Begini, Tuan…..”lanjut Narumi dengan lebih ramah, “Aku hanya ingin kamu ditawan disini dengan perlakuan khusus. Kamu aku pekerjakan di rumah ini. Opas Gozo akan menjelaskan apa saja tugas-tugasmu. Satu hal lagi, Tuan jangan coba-coba melarikan diri meskipun dapat melakukannya dengan mudah! Ini demi keselamatanmu. Dan aku sangat peduli padamu.”
Dan di pertemuan yang kedua itu, Jeff bersikap lebih lunak. Dalam pandangannya, Staf Elit Kaigun Dai Nippon yang satu ini memang berbeda. Mungkin karena ia satu-satunya perempuan di detasemennya. Atau mungkin juga karena ia seorang pengantin baru yang sama sekali tidak mencintai suaminya.
Hubungan mereka berdua kian dekat. Mulanya sebagai tawanan pribadi dengan “perlakuan khusus”. Lalu menjadi teman diskusi yang menyenangkan. Setiap ada kesempatan, Jeff tampil memikat sebagai pengisi kesepian hati Narumi.
Jeff adalah pria Amerika sejati yang tahu bagaimana cara menyanjung sisi terdalam feminitasnya sebagai perempuan. Romantisme seorang laki-laki yang dapat memabukkan akal sehat Narumi.Sungguh……! Sesuatu yang tak pernah ia dapatkan dari lelaki-lelaki sebangsanya sebelumnya. Bahkan dengan suaminya sekalipun!
Hingga pada suatu senja…………………….
Waktu itu Narumi baru pulang dari Tanjung Perak dengan memegang pundaknya yang berdarah-darah.Gyo, asistennya diikuti beberapa tentara Dai Nippon mengiringi di belakangnya.
“Jeeeff!”, teriaknya keras.”Panggil Jeff cepat! Biarkan dia saja yang mengobatiku! Dia kan seorang dokter.”
Tiba-tiba saja lelaki bule itu sudah muncul dibalik pintu dengan bergegas-gegas.
“Tidak pelu repot memanggilku! Aku di sini. Kenapa dengan Nyonya Hamamura?”
“Digigit ular di pelabuhan”,jawab Gyo.”Beliau tidak mau dipapah dan sama sekali tidak mengeluh. Padahal itu mungkin ular berbisa.Hah, Nyonya…?”
Tiba-tiba tubuh Staf Kaigun itu menggigil hebat dan nyaris limbung seperti hendak kehilangan kesadaran. Gyo menghunuskan sangkurnya ke leher Jeff dengan muka panik.
“Sembuhkan beliau sekarang juga sebelum bertambah parah! Jika beliau sampai mangkat, kucincang tubuhmu untuk makanan anjing tangsi!”
“Memang aku akan melakukannya!”, sahut Jeff tak kalah sengit.”Tolong tinggalkan kami berdua saja! Aku tidak bisa mengobati jika ruangan terlalu pengap dengan aroma tubuh manusia. Tolong…..Ini demi Nyonya!”
Dengan tatapan berharap sekaligus curiga, Gyo dan yang lain serta merta keluar dan menutup pintu dari luar. Jeff mengunci pintu itu rapat-rapat.
Tanpa berpikir panjang, Jeff melepas pakaian dinas bagian atas Narumi dan melempar samurai yang tersoren di pinggangnya ke lantai. Seragam berwarna hijau tropical itu terjerembab ke lantai. Terlihat segera dua titik bekas gigitan ular di pundak yang berkulit kuning terang itu. Setelah memberi obat injeksi, Jeff membelit dada dan punggung Narumi dengan kemeja lusuhnya kuat-kuat. Lalu tanpa ragu menghisap racun ular dari bekas luka yang masih megeluarkan darah itu dengan sekuat tenaga, dan meludahkannya kembali ke lantai. Hal itu ia lakukan hingga berulang kali
Tiba-tiba saja matanya terasa berkunang-kunang dan ruangan di sekelilingnya berputar-putar Setelah menelan beberapa tablet serum anti toksin, Jeff terkulai lemas dilantai. Bulir-bulir keringat bermunculan dari pori-pori dadanya yang telanjang, karena kemejanya masih melilit erat di tubuh Narumi. Perlahan, ia atur nafasnya yang tersengal kelelahan.
Beberapa jam kemudian, Gyo telah memindahkan tubuh atasannya ke peraduannya, dan meninggalkan perempuan itu dalam lelapnya. Rumah dinas itu tertelan heningnya malam yang beranjak larut. Membiarkan dengkur halus berbisik dan suara jangkrik menggesekkan sayap-sayapnya. Yang terjaga hanyalah sejumlah serdadu Nippon yang hilir mudik memperhatikan setiap gerak-gerik bayangan kegelapan dengan penuh curiga.
Jeff membuka pintu kamar tidur Narumi yang ditinggalkan begitu saja oleh ajudannya. Mungkin Gyo sengaja meninggalkan pintu itu tak terjaga untuk tidur. Jeff sempat melihat wajah lelah lelaki itu tadi sore. Dilihatnya tubuh perempuan itu tergolek dengan tenang.
Pria Amerika itu mengunci pintu kamar dari dalam dan duduk tanpa suara di bibir pembaringan. Dipandanginya wajah oval perempuan itu. Tidak cantik, namun….sebenarnya cukup menarik. Mungkin karena sorot matanya yang jernih namun sangat tajam dan dalam, seperti air tenang yang mampu menenggelamkan apapun. Atau suara renyahnya yang diucapkan dengan irama yang tegas, berwibawa sekaligus mengobarkan api di hati. Atau perilaku sopannya yang tak selazim rekan-rekan militernya yang begitu buas hasrat biologisnya jika melihat lawan jenisnya .Atau…..Tegap tubuhnya, tubuh yang terlatih dengan latihan-latihan fisik militer yang keras……Sehingga ……
Uuuh! Narumi adalah pribadi dan fisik yang unik! Narumi adalah sosok sensualitas perempuan dengan sensasi yang berbeda dari perempuan manapun yang pernah ia temui sebelumnya! Narumi itu…Mungkin kosakata ‘seksi’ lebih pas untuknya. .Akh1 Jeff menelan ludahnya yang terasa kecut.
Perempuan itu membuka kedua matanya perlahan. Mendapati wajah terpekur padanya. Wajah yang belakangan ini terasa akrab di kesehariannya. Jeff….! Lelaki bule itu mengelus lembut wajah ovalnya, membelai gerai legam rambutnya, mengecup dahinya dan menebarkan senyum tipis di sudut bibirnya.
Narumi diam tak bergerak. Ia tak mampu mengelak dari segala kelembutan yang disentuhkan lelaki itu padanya. Hatinya tergetar hebat dan jantungnya berdegup kencang. Ia ingat Ryuzo! Bukankah hal seperti ini yang seharusnya diberikan Ryuzo padanya? Bukankah getaran ini yang seharusnya disulutkan Ryuzo ke jiwanya? Tapi…..
“Anda baik-baik saja Nyonya?”, tanya Jeff lemah lembut.
Narumi menggeleng lemah.”Terima kasih,”sahutnya lirih.”Maaf, seharusnya aku…..”
“Sssttt…..!” Jeff merekatkan jari telunjuknya ke bibir tipis Narumi.
“Tak apa. Nyonya….Aaa, bagaimana jika kupanggil namamu saja? Aku ingin lebih akrab denganmu. Maaf, bukan maksudku untuk kurang ajar, atau tak hormat padamu. Jika Anda tak berkenan, aku akan…”
Narumi menggenggam jemari kokoh lelaki itu dan menatapnya dalam-dalam.
“Tak apa. Aku menghargai maksudmu. Dan aku sama sekali tidak keberatan. Aku bersimpatik padamu, Jeff. Selama ini, tak pernah aku menemukan teman diskusi dan tempat berbagi yang lebih baik darimu. Aku merasa, kau mengerti hasrat, jiwa, dan gagasan-gagasanku lebih dari siapapun.”
Jeff mengecup lembut punggung tangan Narumi. Perempuan itu memejamkan matanya perlahan. Merasakan desiran hangat menyusupi sudut-sudut sanubarinya yang selama ini dingin dan beku. Menikmati dengus lirih nafas lelaki itu yang menggelitik rongga-rongga telinganya yang sunyi. Sedetik kemudian, tiba-tiba bibirnya terasa tersentuh oleh sesuatu yang hangat, lembut dan menerbangkan alam kalbunya ke awang-awang. Ciuman Jeff…...Terasa begitu orisinil dan tulus. Bibirnya tergetar menahan debaran jantung yang seolah melompat-lompat kehilangan daya statis. Narumi terbuai dan berharap sesuatu yang ‘lebih’ akan terjadi. Tapi…..
“Beristirahatlah! Kondisimu belum pulih benar. Jika perlu apa-apa, panggil aku!”
Narumi membuka matanya dengan hati masygul. Segala debarnya mendadak pupus dan berganti kecewa.
“Aku memerlukanmu saat ini. Tetaplah bersamaku di sini. Kumohon…!”, Narumi berkata memelas
“Tidak, Sayang! Masih ada hari esok. Malam ini, tidurlah dengan tenang. Aku ingin melihatmu segera sembuh. Aku merindukan Narumi yang lincah dan penuh semangat. Tolong….!Ya…..?”
Setelah mengecup kening Narumi, lelaki itu beringsut pergi dan Narumi tanpa dapat berkata, memandangi punggung yang bidang itu menghilang dibalik pintu Sesaat kemudian,sebulir airmata jatuh kepipi putihnya. Padahal, ia hanya merasa kecewa. Tapi kenapa……?
Mungkin telah tertanam ‘sesuatu’ yang khusus pada jantung sanubarinya. ‘Sesuatu’ yang tak pernah ia bayangkan bagaimana rasanya, namun selalu ia harapkan dari Ryuzo. Dan kini…..Jeff….
Sejak insiden itu, tak ada satupun orang yang mampu menafikan kedekatan Narumi dengan Jeff, seperti halnya asa Narumi pada lelaki itu yang kian subur seolah tak tercerabutkan lagi dari jiwanya. Dan seperti halnya waktu…..Bagai air mengalir yang menghanyutkan kedekatan itu menuju sesuatu yang lebih intim…...Lebih menyentuh sisi terdalam dari kekosongan hati….Lebih membangkitkan gairah dan semangat hidup…Lebih…Lebih…..!.
Kedekatannya yang semakin hangat dengan Jeff, akhirnya membuat ia rela melepaskan keperawanannya kepada laki-laki yang bukan suaminya. Untuk pertama kalinya dalam hidup ia menemukan gairah kehidupan yang tak pernah ia impikan sebelumnya. Sifat lemah lembut, sensitif dan bahkan sentimentil begitu sering muncul dalam dirinya tanpa ia sadari.
Sayang, kebersamaan mereka tak lama. Narumi harus pergi ke tempat lain sebagai konsekuensi tugasnya sebagai seorang perwira Angkatan Laut Dai Nippon. Setelah itu, Narumi tak pernah tahu bagaimana nasib lelaki itu.
Ryuzo pun sebenarnya mendengar kabar bahwa istrinya memelihara seorang simpanan bule. Ia kecewa, ia bukan lelaki pertama yang dirindukan istrinya. Ia berusaha menutup mata dan telinga, menyadari kenyataan `apa yang seharusnya menjadi haknya` telah diberikan pada orang lain.
…………………………………………� �………………………..
Mobil jeep berhenti disebuah rumah berdinding beton. Mesin mobil yang padam tiba-tiba, memotong lamunan Narumi yang tenggelam ke masa silam. Di depan teras berkumpul pejabat-pejabat militer Gunseibu.
Hari itu mereka membahas ultimatum Truman terhadap Jepang , Osamu Kanrei, dan langkah-langkah militer di tingkat Syu pasca perintah kawat Marsekal Terauchi.
Sementara Perang Asia Pasifik semakin merapat ke To-Indo, bangsa ini tidak menyadari bahwa mereka dijadikan dumping bagi serangan SEAC terhadap Jepang.
Selama melalui hari-hari yang menyibukkan, Narumi mencoba memikirkan langkah-langkahnya pula setelah tugas ini berakhir. Ia harus mulai berani melihat kenyataan bahwa cintanya pada Jeff adalah sesuatu yang takkan mungkin teraih olehnya.
Dekapan hangatnya, bisikan lembutnya, sentuhan halusnya ……..Tutur katanya, perhatian-perhatian kecilnya, dan setiap intan yang terlontar dalam setiap ucapannya……Jeff itu…………….
Adalah mata sang rajawali
Tajam menikam nadir
Menuju friksi
Dan gelombang yang terpecah karang
Mengecup morning-glory
Sambil berucap:
Desau itu tlah memputing beliung
Wahai merah yang membusung
Narumi akan menggigit bibirnya kuat-kuat sambil menahan rasa pedih di dadanya jika mengingat sosok lelaki itu……..Lalu diam-diam menyesali posisi mereka yang terpaksa harus berseberangan sebagai bangsa dengan kepentingan masing-masing.
Ia harus menutup kenangan lamanya dengan segera! Sebab jika diteruskan, perasaan tak menentunya akan tiba-tiba saja merongrongnya dengan denyutan kepala yang tak ada habisnya. Masalah itu sepertinya menjadi momok untuk ketahanan fisiknya.
Memang, satu bulan terakhir ini Narumi sering merasa pusing. Celakanya, pusing itu jadi sangat serius, jika di kepalanya sudah berlalu lalang setiap momen yang pernah ia lalui bersama Jeff. Sepertinya tubuhnya secara otomatis melakukan perlawanan keras jika otaknya mulai berpikir tentang lelaki itu. Aneh!


SURABAYA, 3 AGUSTUS 1945
Menurut Dokter Toruke, Narumi sedang mengandung. Ia tak percaya. Terlebih karena Narumi merasa tidak ada cinta tulus diantara ia dengan Ryuzo. Namun disudut kalbunya sebagai perempuan, ada sesuatu yang merekah dan bersemi indah. Mungkinkah itu adalah kebahagiaan? Namun Narumi sendiri tidak dapat memastikan hal itu.
“Setiap perempuan pasti bahagia mendengar kabar ini. Kalau Jenderal Sokogu tahu, pasti akan dijinkan pulang,” demikian kata dokter muda itu.
Narumi hanya membungkukkan punggungnya saja mendengar kalimat itu. Andaikan yang dikatakan Dokter Toruke benar………….!
Tiba-tiba, ia merasa ada korelasi antara kondisi fisiknya saat ini dengan yang terjadi jika ia mulai melamunkan Jeff. Mungkinkah mitos yang dipercaya orang-orang Kyoto bahwa ‘kehamilan seorang wanita akan membuatnya setia pada ayah dari anak yang dikandungnya’ benar?
Jantung Narumi berdetak lebih cepat Keringat dingin mengalir menelusuri dahi, leher dan punggungnya. Ryuzo….? Apakah ia sudah pulang dari Shanghai? Ia berhak tahu bahwa istrinya……. Tapi……… Narumi masih …..Ini ketakutan, keraguan, atau……?
Wajahnya memucat seketika! Ia……Ryuzo…….Sepertinya Narumi sedang berdiri pada satu titik yang tak dapat ia mengerti. Dirinya butuh sedikit waktu untuk mencerna lebih bijaksana atas apa yang sedang terjadi padanya saat ini. Ia mendadak kehilangan kemampuan untuk menerjemahkan isi perasaannya sendiri! Shock !?
--------------------------- 0 ---------------------------


HIROSHIMA, 3 AGUSTUS 1945
“Kau sendiri, Ryuzo?”
“Ya, Ayah”,jawab Ryuzo sambil tersenyum.
Lelaki yang dipanggilnya ‘Ayah’ itu turut tersenyum. “Begitulah tentara”,katanya kemudian.
“Ya. Seperti aku dan Ayah. Ngomong-ngomong, Ayah sudah kelihatan lebih baik. Jika diperbolehkan dokter, aku ingin membawa Ayah ke rumah kami di Kyoto. Cuacanya bagus dan tidak sebising di sini. Aku ingin membicarakan sesuatu dengan Ayah”
“Katakan saja, Ryuzo! Tidak perlu harus ke Kyoto kan?”
“Tidak! Aku tidak berniat mengatakan hal ini tanpa Narumi. Lagipula Ayah harus tetap bersedia ke Kyoto. Bagaimana?”
“Aku tahu kehidupanmu dengan Narumi kurang harmonis. Leluhur kita telah melakukan tradisi perjodohan dan mereka saling mengasihi hingga ajal menjemput. Aku dan Ibumu pun begitu. Kamu juga pasti bisa, Ryuzo.”
“Kita akan berbicara tentang itu juga di Kyoto. Tapi bukan itu persoalannya, Ayah. Pokoknya, Ayah akan gembira, begitu juga Narumi.”
Wajah lelaki tua menyiratkan kekecewaan.”Maaf, Nak,” katanya kemudian.”Dokter masih ingin menyandera Ayahmu ini sampai aku betul-betul dapat turun sendiri dari tempat tidur. Di usia yang setua ini, aku sudah tidak ingin kemana-mana lagi. Lagipula, di kota inilah aku menikah dan membesarkanmu. Hanya di kota inilah, aku ingin dikremasi suatu hari nanti.”
“Ayah membicarakan hal yang buruk-buruk saja. Sudahlah! Aku tidak akan memaksa Ayahku yang selalu keras kepala ini ke rumah kami. Aku hanya ingin membicarakan…..”
“ Jika kau ingin membicarakan sebuah kabar bahagia, kita tetap harus membicarakannya di sini. Dengan Narumi tentunya. Begitu kan harapanmu? Mudah-mudahan ia diberi kesempatan untuk pulang. Sudah saatnya ia menjelaskan padaku, kenapa setelah sekian tahun menikah, aku tak segera diberinya cucu.”
Orang tua itu terkekeh pelan. Ryuzo tersenyum lebar melihatnya. Kebahagiaan orang tua itu……Kerinduannya akan…..Juga ibunya yang telah tiada dengan membawa cita-cita untuk anak cucunya……Pun setiap tanda tanya keluarga besar bangsawannya ketika sedang berkumpul…….Ryuzo bertekad untuk mewujudkan semua itu!
Martabat, harga diri, kehormatan…….Di hadapan Narumi, ia akan pupuskan semuanya dalam penantian cintanya yang selama ini terkatupi kuat oleh arogansi kelelakiannya. Selama di Shanghai, ia terus berkontemplasi, berefleksi dan berintrospeksi. Buahnya ialah suara kerinduannya yang berdesakan dari sudut kalbunya menuju kesadaran labilnya. Dan suara kerinduan itu hanya bersorak tentang Narumi……Narumi…….Dan Narumi……Semata!
“Ting-ting-ting, ting-ting-ting, ting-ting-ting….!!!”
Tiba-tiba suara genta tangan bergemerincing nyaring. Jam mengunjungi pasien telah habis. Ryuzo mengengok jam di pergelangan tangannya.
“Mumpung masih pagi, Ryuzo. Segeralah mengirim telegram untuk istrimu! Aku tahu, kau ingin sekali menemuinya. Dan aku, tak sabar menunggu apa sebenarnya yang ingin kau katakan pada Ayah dan Narumi.”
Ryuzo tersenyum.”Pasti, Ayah!”, janjinya kemudian.”Aku sudah mengirimkan telegram untuknya dari Shanghai beberapa hari yang lalu. Aku pergi, Ayah! Petang nanti, aku datang lagi. Selama Narumi belum tiba, aku akan tetap tinggal di kota ini supaya selalu bisa mengunjungi Ayah.”
“Baiklah. Aku senang melihatmu di sini. Hati-hati!”
Ryuzo mengelus pundak ayahnya dan dengan tegap, ia lalu beringsut pergi. Tapi…..
“Ryuzo….!”
Ryuzo memutar tubuhnya kembali.”Ya, Ayah?”
“Aku tahu, Narumi itu di luar perkiraanmu. Kamu tidak mengharapkan perempuan seperti Narumi menjadi pendamping hidupmu. Tapi kamu sudah memilih dan pernah menginginkannya. Ingatkah kamu bagaimana dirimu jatuh cinta kepadanya pada pandangan yang pertama? Dia sangat luar biasa ya? Sampai sekarang pun aku masih mengaguminya. Aku percaya padamu dan Narumi.”
Ryuzo tersenyum tipis. Ia menggangguk kecil. Ditepuknya dengan lirih punggung tangan lelaki tua itu yang mulai keriput dimakan usia. Lalu berbalik, melangkah pergi. Orang tua itu mengamati punggung bidang anaknya hingga lenyap ditelan lorong panjang rumah sakit itu menuju lobi.
Aku tak akan lagi hanya berdiri di sini…..Menyakiti diriku sendiri dengan membiarkanmu hidup dirundungi kenangan tentang lelaki lain…., batin Ryuzo dalam hati.
Ya! Cukup sudah! Ia harus menyudahi seluruh ‘drama bodoh’ ini tanpa sekuel yang berlarut-larut dan menyiksa kehidupan rumah tangganya, dengan ketulusan hatinya…..kesungguhannya…..tanpa ragu…..mengenyahkan gengsi konvensionalnya……Ya! Untuk dirinya, untuk Narumi, juga untuk……jika mereka dikaruniai anak nanti !
Di depan Rumah Sakit Shima, Ryuzo berhenti. Ia menengok sejenak ke salah satu jendela di lantai dua rumah sakit itu. Seraut wajah yang ia sayangi dan segani, memandang ke arahnya sambil melambaikan tangan. Ryuzo mengangguk tegas. Wajah dibalik kaca jendela itu mengembangkan senyumnya. Dengan penuh semangat, lelaki bertubuh atletis itu kembali melanjutkan langkahnya.
Ada segaris cahaya yang bersinar dari matanya. Cahaya harapan! Ia melihat beberapa daun-daun maple dan plum yang menua, berguguran dengan dada dipenuhi kecongkakan.
“Lihatlah! Di saat kau berguguran, asaku justru hendak bersemi.Sudah saatnya nasib baik dan keindahan hidup berpihak padaku”, ejeknya lirih pada pepohonan itu.
Dalam benaknya, menari-nari sepercik senyuman tersipu dari wajah oval Narumi yang terpendar diantara pertemuan mereka sembilan tahun yang lalu di pelataran Kuil Himeji. Senyum riang yang masih demikian orisinil. Senyum yang betul-betul terbit dari lubuk hati kasmaran Sang Perawan. Seperti bunga sakura yang terselip di telinga sorang kekasih, demikianlah Narumi sebagai seorang putri dipingit dan ditahtakan di puri keluarganya disalah satu sudut Kota Tua Himeji.
…………………………………………� �…………………………….
Angin yang kehilangan daya hangatnya, berhembus di akhir bulan Oktober. Melatar belakangi langit musim gugur yang menanggalkan dedaunan dari rerantingnya yang merapuh oleh cumbuan cuaca dan waktu.
Di pelataran puri yang dijuluki Bangunan Bangau Putih, peninggalan Klan Akamatsu –salah seorang Daimyo yang disegani dimasa Shogun-, seorang gadis manis berwajah oval berdiri di pinggir jembatan. Payungnya bermotif bebungaan warna merah. Nampak kontras dengan obinya yang berwarna kuning terang. Ia hanya diam mengamati ikan-ikan koi yang berenang hilir mudik di parit besar itu.
‘Anggun !’ demikian puji Ryuzo dalam hati. Pemandangan yang elok di tempat yang elok dan suasana yang elok. Ryuzo tersenyum pada dirinya sendiri.
Narumi tidak menyadari kehadiran Ryuzo yang setapak demi setapak semakin dekat dengannya.Ia masih khusuk dengan aktifitasnya sendiri.
“Sore, Nona Goratsumoto!” sapa Ryuzo lembut.
Gadis itu terhenyak sejenak. Menatap wajah pemuda itu dengan sorot tanda tanya. Ryuzo membungkukkan tubuhnya sedikit, memberi hormat. Narumi buru-buru melakukan hal yang sama.
“Kamu…..?”
“Maaf mengagetkanmu. Aku sudah bertemu Ayahmu di Jembatan Hanada barusan. Beliau bercerita tentangmu. Lihat! Itu mereka! Dengan Ayahku!”
“Oh!”Senyum manis tersungging di bibir indah Narumi. Ryuzo terpana!
“Kamu manis sekali,” gumam pemuda itu tak sadar.
“Maaf? Kamu bicara apa? Aku tidak dapat mendengarnya dengan jelas.”
Ryuzo tergeragap kikuk.”Mmm…..Maksudku, kita belum berkenalan. Aku Ryuzo. Hammamura Ryuzo. Kamu?”
Narumi membungkuk lagi, menyembunyikan pipinya yang memerah karena tersipu.”Aku Narumi. Goratsumoto Narumi. “
Tiba-tiba, raut muka Ryuzo berubah jadi kesal. Narumi melihatnya heran. Tapi Ryuzo pun tahu, gadis itu tak mungkin berani bertanya. Sebab mungkin Narumi rasa ada kesalahan kecil yang ia lakukan dalam perjumpaan pertama mereka ini.
“Mengapa baru sekarang aku dapat bertemu denganmu? Padahal sudah lama aku mendengar kecantikan Sakura dari Puri Goratsumoto. Sekarang, sesudah bertemu, aku sudah harus pergi jauh. Ah!”
Narumi tertawa kecil.”Kukira ada yang salah denganku dan kamu jadi marah. Aku lega, ternyata kau tidak kesal padaku. Memangnya kamu akan kemana?”
“Dimilisikan. Memangnya kamu tidak tahu kalau setiap lelaki yang telah berusia tujuh belas tahun di negara ini harus mengikuti Wajib Militer? Peraturan yang disahkan Dewan Kekaisaran dan Tenno Heika sendiri tentunya.Daripada begitu, sekalian saja aku mengikuti akademi kemiliteran. Tidak hanya menjadi prajurit, tapi juga punya jenjang karir yang lebih jelas kelak jika Perang Suci nanti usai. Demi kehormatan keluargaku, demi harga diri leluhurku yang telah membaktikan diri sebagai Samurai, setia pada Kaisar…….”
“Sudahlah, Pemuda yang gagah berani!”sahut Narumi, memotong kalimat Ryuzo.”Tidak adakah pembicaraan yang lebih pantas ketika kamu sedang bersama seorang wanita?”
“Maaf. Aku kurang sopan, ya?”
“Ah, tidak begitu.Hanya kamu perlu sedikit belajar bagaimana cara berhadapan dan berkomunikasi dengan seorang wanita.”
Ryuzo menundukkuan kepalanya dengan penuh sesal. Gadis yang berdiri di hadapannya tersenyum lebar.
“Ah, sudahlah Ryuzo San! Aku hanya bercanda. Berbicaralah semaumu! Aku adalah orang yang sangat terbuka dan dapat mendengar apa saja. Aku seorang perempuan yang sebetulnya sangat bandel. Jadi, kamu dapat mengajakku bicara sebagaimana kau berbicara dengan laki-laki. Oh, ya….Kamu laki-laki yang bagaimana? Pemarahkah? Pemalukah? Atau…..?”
Ryuzo ikut-ikutan tersenyum lebar. Malah lebih terdengar seperti tawa. “Ternyata kamu tak selembut yang kukira. Tapi sudahlah! Lebih baik begitu. Sebab sedari tadi aku merasa canggung melihat gerak-gerikmu yang sangat agung dan sopan. Seperti sedang menghadap bangsawan yang sangat tinggi sekali kedudukannya di lingkungan Kekaisaran.”
“Memang demikianlah yang sedang terjadi saat ini. Bukankah kau sudah mengenal baik siapa keluargaku dan tahu benar bagaimana kedudukan kami saat ini?”tekannya pada Ryuzo dengan tutur kata yang teramat lembut namun menusuk di hati.
“Oh, maaf……..”Lelaki muda itu jadi merasa bingung.
Tawa Narumi tiba-tiba pecah seperti rinai gerimis yang terdengar renyah. Menertawakan Sikap Ryuzo yang sangat polos dan tampak seperti orang bodoh.
“Ryuzo San, aku hanya menggodamu saja. Sudah lama aku tidak keluar puri dan jalan-jalan sambil mengusili orang. Kamu adalah korban pertamaku hari ini. Maaf, ya?”
“Ah….!” Ryuzo tersenyum kecut. Ternyata benar rumor yang menyatakan kalau Putri Goratsumoto yang satu ini suka sekali menjebak orang untuk jadi kelihatan bodoh demi kepuasan hatinya. Tapi entah mengapa, ia justru merasa senang dikerjai sedemikian rupa oleh gadis itu.
Di menit berikutnya, kejenakaan Narumi yang mengalir, menjelmakan derai tawa dan gurat keriangan diantara keduanya. Bahkan ketika senja telah nyaris tenggelam dipeluk gelap dan cahaya lampu-lampu dari sekitar tempat mereka berdiri telah dinyalakan, keduanya baru beranjak pergi menuju kereta yang akan membawa mereka ke Puri Keluarga Goratsumoto nan mungil, cantik dan asri di pinggiran kota.
Memang hari itu, Keluarga Hammamura sedang bertandang di kediaman Goratsumoto, sebelum menuju Tokyo, untuk mengantarkan Ryuzo mendaftar di Akademi Kemiliteran yang dibuka Menteri Pertahanan.
Sepanjang pertemuan antara ia dengan Narumi, Ryuzo merasa Narumi membuka hati padanya. Ryuzo membaca dari cara gadis itu menatap dan mengajaknya berbincang. Begitu luwes, mengalir teratur dan amat menyentuh simpatinya. Terkadang, ia sengaja memandangi gadis itu lama-lama, dan membiarkan Narumi tertunduk malu menyembunyikan lesung di pipinya yang merona memerah muda. Uh! Darah Ryuzo senantiasa berdesir halus pada adegan itu. Demikian alami dan menghanyutkan! Ahhh……..
Ryuzo tidak akan menyangkal pula jika ia suka keceriaan gadis itu. Suka dengan kebersahajaannya yang langka dimiliki oleh putri-putri para bangsawan dan orang-orang terhormat lainnya. Lihat saja, bicaranya serba berterus terang namun tetap menyiratkan kewibawaan. Beda sekali dengan saudari-saudarinya yang suka sekali berbicara dengan gaya yang bertele-tele dan pongah bahkan untuk hal yang sebetulnya sangat sepele. Mungkin itulah alasan Yang Dipertuan Goratsumoto lebih senang bertukar pikiran dan berjalan-jalan kemanapun dengan Narumi saja.
Sejak kedatangannya di Himeji hingga setibanya ia di Tokyo, Ryuzo tak mampu menepis gurat senyum Narumi yang terpampang lugas di benaknya setiap saat. Dan karena itulah, Ayahnya berinisiatf meminang Putri Goratsumoto itu untuknya, kelak jika ia telah berhasil dalam pendidikannya di Akademi. Untuk itu, Ryuzo berusaha sangat keras. Janji Ayahnya untuk menjodohkannya dengan Narumi menjadi pelecut yang demikian hebat bagi kerja kerasnya.
…………………………………………� �…………………………………………� ��
Terlalu banyak alasan untuk mempertahankan sebuah mahligai perkawinan. Mengingat bagaimana ia jatuh cinta pada Narumi…….Mengingat bagaimana ia pernah sangat menginginkan perempuan itu menjadi bagian terpenting dalam hidupnya…….Mengingat senyumnya……. Mengingat impiannya…….. Mengingat……. Mengingat…….Ah! Lalu apa lagi yang boleh dianggap layak untuk menghancurkan perasaan mereka selama ini? Bukankah dinding ego yang terbangun diantara mereka berdua seharusnya tak pernah ada?
“Biarlah aku menginsyafinya sebagai sebagai sikap kekanak-kanakanku, yang tak bisa menerima seorang istri yang seprofesi denganku dan berkedudukan lebih tinggi di atasku dalam pekerjaan ini,” gumamnya akhirnya pada diri sendiri.
Alasan yang seharusnya begitu simple saja. Kenapa tak sedari dulu ia tak menggubrisnya sebagai hal yang biasa-biasa saja? Atau mungkin cara pandang masyarakat di lingkungan hidupnya yang menganggap keadaan rumah tangga mereka bukanlah hal biasa yang lumrah, sehingga membebani jiwanya sebagai laki-laki yang seolah kehilangan harga dirinya?
Meski Restorasi Meiji telah membawa Jepang pada kemajuan zaman, lalu sampai seberapa dewasakah masyarakatnya meyikapi kondisi yang serupa ia dan Narumi alami? Ataukah keputusan negeri ini untuk berjalan di rel Fasisme, telah membuat ia dan Narumi menjadi orang-orang pongah yang keras kepala dan kehilangan sikap kedewasaan? Ataukah segala tetek bengek itu hanyalah kambing hitam belaka dari sikap mereka yang pada dasarnya memang kekanak-kanakan?
Ugh! Baru kali ini ia dapat berpikir seluas dan seobyektif ini. Betapa panjang proses yang ia lalui untuk mencapai kesadaran ini. Mungkin saja sudah sangat terlambat. Sebab hati istrinya itu sudah lama mengenang dan merindui cinta yang lain. Cinta yang tak mampu ia luapkan dalam kata-kata dan perbuatan. Cinta yang dipenjarakan dalam kekecewaan dan kesombongan. Cinta yang hanya mampu ia sampaikan dalam kebisuan hingga orang yang dikasihinya itu ia biarkan dalam kerasingan dan tak terjamah kehangatan yang seharusnya wajib ia berikan.
Jadi apalagi yang harus ia tunggu sekarang? Ia memang telah kehilangan kesempatan. Tapi selama ia masih bernafas, dialah yang akan menciptakan kesempatan itu sekarang! Bukankah ia adalah manusia yang memiliki karsa dan kemampuan untuk itu? Jadi, ia tak akan menunda lagi!
Lelaki itu melenggangkan tubuhnya dengan langkah pasti. Bergegas namun mantap. Menatap jalanan yang ditingkahi guguran daun berserakan dengan penuh keyakinan. Pancaran matanya membinarkan hatinya yang selama beberapa tahun dikungkungi kesuraman.
pelangi musim semi
menggeliat manja, sayang…
bergelayut di pucuk daun kenaifan
meluruh pada tunas
merengkuh maya di sudut jalan kalbu
ia, melesat menjemput hangat matahari,
dan menggores kelana air mata
seperti hujan merobek kerontang
dan debur ombak yang membelah gugusan karang
Hiroshima luruh dalam aktivitasnya sehari-hari. Matahari kian tinggi. Namun udara tetap memaksa setiap bunga untuk merekahkan kuncup-kuncupnya dengan rakus, seolah-olah musim gugur hendak menyongsong kesokan hari. Ryuzo …..Menantikan detik-detik yang direncanakan untuknya dan Narumi terjadi. Ia sedang menunggu……. berharap…… melalui waktu demi waktu……membingkai wajah oval Narumi…….menyisipkannya di relung-relung kesepiannya yang diendapkan keangkuhan yang berkepanjangan…….Ah! Narumi……..

SURABAYA, 4 AGUSTUS 1945
Narumi mendapat telegram kilat dari Ryuzo.
Istriku, aku diberi kesempatan untuk pulang ke Kyoto. Besok aku akan ke Rumah Sakit Shima menjaga Ayah. Aku juga akan bilang padanya bahwa ternyata aku baru sadar jika selama ini aku memang mencintaimu. Jika ada jeda tugas, kutunggu kamu di Hiroshima.
Narumi tergugu. Ia juga ingin bertemu suaminya. Tapi dengan maksud yang lain. Narumi ingin Ryuzo tahu bahwa mereka berdua akan diberkahi seorang bayi. Mungkin ini menjadi awal yang baik untuk belajar melupakan perasaan rindunya pada Jeff.
“Dokter Toruke benar”, ujar Laksamana Mizaki menghenyakkan hatinya
Kawan lamanya sewaktu masih bertugas di Kaigun dulu itu, menepuk pundaknya pelan. Pelataran Markas Syu itu sedang sepi. Hanya sekelompok anak buah Syudanco Rahmad yang sedang berlatih Kendo terlihat riuh di kejauhan, dan beberapa tentara Nippon yang sesekali berpapasan dengan keduanya sore itu. Mizaki melihat kegundahan di muka perempuan itu.
“Mayor harus secepatnya mengajukan cuti pada Jenderal Sokogu. Perempuan hamil tak diijinkan melaksanakan tugas-tugas kemiliteran. Lagipula Kolonel Ryuzo…….”
Narumi mencoba menerbitkan senyumnya. Kawannya itu berkata benar.
“Anda benar. Mizaki San, saya mengharapkan bantuanmu untuk mengurus semua dokumen yang diperlukan selama saya sedang tidak bertugas.”
“Saya pasti akan melakukannya dengan senang hati.”
“Terima kasih.” Narumi membungkukkan tubuhnya.
“Jangan sungkan, Mayor. Kondisi To Indo memang tak layak untukmu.”
Narumi mengerinyitkan dahinya, seperti keberatan dengan pernyataan Mizaki.
“Karena saya perempuan ?” tandasnya dengan investigative.
“Maaf! Bukan begitu. Maksud saya, Mayor sedang dalam keadaan yang memerlukan kenyamanan lebih dari biasanya. Dan di To Indo……Mayor …..Tahu kan…..? Saya tidak mau terjadi sesuatu dengan janinmu. Bukankah kode etik militer juga……”
“Maaf. Saya salah faham…..”
“Tak apa. Ah……Seminggu yang lalu, saya bertemu Kolonel Ryuzo di Cungkin. Tugasnya amat berat di Shanghai. Ia tidak terlalu banyak bicara seperti biasanya. Ia cuma bilang ingin pulang dan kuamati, beberapa kali ia mengecup cincin pernikahannya. Aku melihat kaca bening mengambang dimatanya dan senyum samar yang teramat dalam maknanya. Bukan aku sok tahu. Tapi……Maafkanlah dia! Kukira ia hanya bodoh saja, sehingga tak mengerti bagaimana caranya menunjukkan perasaannya kepadamu selama ini. Bukannya ia tak perduli padamu. Ia…...Hanya……Seorang laki-laki yang rapuh! Di sininya,” Mizaki menunjuk ke dadanya sendiri.
Narumi tertunduk dengan hati yang berkecamuk. Ucapan Mizaki menyayat jiwanya yang lungkrah. Sahabatnya itu memandangnya dengan prihatin. Sekuat mungkin perempuan bertubuh atletis itu menahan emosinya yang membandang sisi senyapnya kesunyian yang menghuni relung rindunya selama ini.
‘ Ooooh….! Tahan! Tahanlah agar kau tetap tegap, Narumi!’ bisik batinnya berucap.
“ Ingatlah, kami semua yang pernah dekat denganmu di legiun dulu, berharap dapat melihatmu tertawa seriang dulu lagi. Masih ingatkah saat kau menunjukkan surat dari Ayahmu yang isinya menyuruhmu pulang untuk menerima pinangan Kolonel Ryuzo? Mungkin sebentar lagi perasaan itu akan terbit kembali,” ujar Mizaki lagi, mencerahkan hatinya yang terombang-ambing mencari pijakan.
“Oh, ya……Segeralah membuat permohonan untuk mengajukan cuti. Saya akan menunggu Mayor untuk mengirimkannya ke kantor saya. Biar nanti saya yang membawanya pada Jenderal Sokogu, sekalian membicarakan perihal permohonan penambahan pesawat terbang dengan beliau.”
“Siap, Laksamana!” Narumi memberi hormat dengan meletakkan tangan ke pelipisnya. Tubuhnya menegak dan sepatunya menghentak ke tanah sekali. Cara hormat khas militer.
Mizaki membalas hormat Narumi lalu berbalik arah, melangkah menuju Markas Besar Syucokan. Narumi memandang kawannya itu dengan segurat senyum di ujung bibirnya. Beban di hatinya terasa ringan. Ia merasa jerat kebingungan telah lepas dari belit tubuhnya. Mungkin juga benar jika ia akan terlahir kembali dengan harapan baru terhadap apa yang akan dilakukan Ryuzo di Hiroshima nanti.
Malam itu Narumi menulis sebuah surat permohonan cuti untuk Brigadir Jenderal Sokogu. Ia mantapkan hatinya untuk secepatnya bisa pulang sambil berharap semoga permohonannya dikabulkan.

SURABAYA, 6 AGUSTUS 1945…..
Jam 23.45……, Narumi mengepak barang-barangnya. Dalam hatinya sudah terbayang bagaimana ia akan menyampaikan apa yang telah terjadi dalam rahimnya pada Ryuzo esok lusa.
Ia jadi berpikir, calon bayinya mungkin sengaja dikirim Tuhan untuknya agar ia lebih berpirkir realistis daripada sekedar berkutat dengan romantisme mustahilnya. Mungkin juga untuk mengetuk pintu hatinya atas kecemburuan Ryuzo yang tersimpan dalam keangkuhan seragam militernya. Atau…..agar muncul niat dari kalbunya untuk belajar mengasihi ayah dari calon bayi yang berlindung dalam rahimnya?…..Ah, ia tersipu sendiri menyadari apa yang dipikirkannya.
“Permisi, Mayor”?
Narumi mengangkat muka. Seorang serdadu berdiri di depan pintu ruang kerjanya sambil membawa sebuah amplop coklat tua.
“Ada apa ?” tanya Narumi.
“Ini surat perintah untuk mengikuti rapat sekarang juga di rumah Pejabat Gunseikan.”, jawab serdadu itu seraya menyerahkan amplop dari tangannya.
Dengan perasaan tak enak ia menerima amplop itu. Sebuah firasat buruk tiba-tiba melintas ketika ia baca surat perintah darurat yang tertera di bagian kepala surat. Perlahan-lahan urat-urat kakinya serasa melemah…….
Narumi terduduk lemas di kursinya. Sambil membelai perutnya, ia biarkan buliran bening meluncur begitu saja membasahi pipinya. Sementara itu si Opas memandang atasannya dengan sorot mata tanda tanya, seraya menebak-nebak apa yang menyebabkan perubahan mimik yang begitu drastis pada perempuan yang diseganinya itu.
“Takeo,….”Narumi memanggil serdadu itu nyaris tanpa suara.
“Ya, Mayor?”
“Beberapa jam yang lalu, Bell Boy telah meluncur di langit Jepang. Dan Hiroshima telah hancur menjadi puing-puing. Ribuan manusia tak berdosa terkapar menjadi jenazah. Apa kamu punya sanak kerabat di sana, Takeo?”
Serdadu itu terjerembab ke lantai dengan lunglai. Matanya berair. Tanda tanya di hatinya terjawab sudah.
“Ya, Mayor….”, jawab serdadu itu kemudian, pun nyaris tanpa suara.
“Begitu hebat senjata itu……. Hingga di sinipun……turut hancur….!” Narumi menepuk dadanya sendiri yang seolah runtuh.
Bayangan jiwa-jiwa yang terserpih seperti debu ringan dideru angin, mengambang di pelupuk matanya yang mengaca. Jiwa Ryuzo, mertuanya…..Dan perutnya…..? Sekali lagi , dengan tangan bergetar, ia mengelus perutnya……..
Suasana tiba-tiba menjadi hening. Laksamana Muda berpangkat Mayor itu membisu. Sementara Si Serdadu melepaskan pandangannya dengan tatapan kosong. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Sepi………dan……..beku………!Sesaat kemudian, hanya isak lirih saja yang terdengar mengiris hati. Seperti alunan ode yang mengantarkan cucuran air mata pada tiang salib Sang Juru Selamat. Perih itu tertahan dalam sunyi…….!
nyala lilin menjadi doa
dan setiap kuncup adalah asa
seperti musim yang datang dan pergi
ialah negeri pilu tanpa tangis,
gemerlap tanpa sorak,
dan kata-kata tanpa metafora

HIROSHIMA, 6 AGUSTUS 1998……
Narumi Hamamura. Menatap langit musim panas dari balik kacamatanya. Sekuntum sakura jatuh ke pangkuannya. Sebulir airmata ia seka dengan hati masygul. Ia sematkan sakura itu dimangkuk berisi lilin. Hari ini semua orang menuju ke Tugu Peringatan dengan membawa lilin atau lampion. Namun ia hanya duduk di halaman samping rumahnya.
Seorang gadis remaja bersimpuh di sisinya
“Nek, Kakek di surga melihat dirimu mengenangnya. Kakek pasti beruntung sekali mempunyai istri yang begitu mencintainya seperti dirimu.”
Narumi tersenyum dengan hati teriris pedih ‘Bahkan aku tak ia beri kesempatan untuk belajar mencintainya. Ia hanya memberi kesempatan padaku untuk sadar bahwa terlalu banyak yang telah aku sia-siakan demi egoku”, batinnya sedih.
Angin senja menyapu tubuh rentanya. Ia dalam kebisingan kota dan diantara derai tawa anak cucu……..merasa dingin dan sunyi.
“Mungkin akan berbeda jika dirimu ada di sini, Ryuzo…”, desisnya lirih. Narumi tenggelam dalam isak memilukan dan gadis remaja disisinya mengelus punggungnya tanpa mengerti apa yang tersimpan dalam kenangan panjang nenek tersayangnya.
Negeri ini……….Hari ini………Seluruh yang tersisa setelah bom atom jatuh di Hiroshima dan Nagasaki lima puluh tiga tahun yang lalu…….Yang mati dan yang hidup…….Yang bersemayam tak terusik…….Ada di sudut tersembunyi batinnya……Bersama cuaca, musim dan waktu……..Ia………Bermokto! Bagi jiwa yang menantinya di ambang titik moksa sana……..Lelaki gagah beraninya…….Yang pernah terabaikan……Dalam bisikkan yang ia lewatkan………Terbutakan…….Suami yang tak pernah ia rengkuhi dengan segenap ketulusan hati……..Menjatuhkan sesal yang tak bertepi…….
Gadis remaja itu beringsut menjauh. Membiarkan neneknya tertegun dalam kebisuan yang tak terpecahkan oleh setiap katapun. Ia mengira, perempuan tua itu sedang berasyik masyuk dengan nostalgia indah masa muda, seperti halnya muda-mudi sekarang yang dimabuk kasmaran. Mengenang-ngenang perjumpaan……pernikahan……malam pertama……Oh! Padahal………
Langit masih cerah. Musim panas menebarkan aroma hangat dan harum tangkai-tangakai cemara. Melibas beku dan angin ufuk yang memberingas. Menaungi mayapada bumi seperti selimut memori yang tertelakup dalam benak hari tua Narumi. Merapat seperti terlekat erat dalam nadi sesal yang kehilangan konsistensi. Dan seperti sunyi yang menyusup begitu jauh dalam langkah dan waktunya, rindu dan ego adalah nisbi yang terkenang diam-diam dibalik wajah keriputnya.
Ode itu, terdengar lamat-lamat dari angin lampaunya………..
kupu-kupu dan negeri putih
didayu angin putih
ode wajah putih
oiii….!
biarlah aku dikelangkangi kabut putih
biarlah semburat warna hanya tergradasi oleh putih
biarlah cahaya itu bersemu putih
dan biarlah…….senantiasa aku,
dikelangkangi hanya kabut putih

TAMAT
SURABAYA , MARET 2008





NOTES

 Genkan : serambi berpintu, biasanya terletak di pintu masuk rumah
 Tenno : kaisar
 Amaterasu : Dewi Matahari
 Tori : semacam gapura untuk sebuah gang
 Tatami : sejenis tikar terbuat dari jerami
 Ekspansi Pearl Harbour : serangan Angkatan Bersenjata Jepang atas Pangkalan Militer Amerika Serikat di Pearl Harbour, Hawaii
 Kadet : calon prajurit yang masih dalam dalam masa pendidikan
 Perang Pasifik : Perang Asia Timur Raya yang diletuskan Jepang sejak tahun 1941, dan merupakan salah satu bagian besar dari Perang Dunia ke-Dua.
 Nanyo : Wilayah-wilayah Selatan –dari letak Jepang- yang diduduki oleh Angkatan Bersenjata Jepang
 Samurai Zaman Edogawa : kelompok bangsawan ksatriya samurai, tuan tanah (Daimyo), para pimpinan tertinggi diktator militer (Shogun) yang saling berperang pada masa Wangsa Edo berkuasa, yakni sebelum Wangsa Tokugawa menaklukkan seluruh Jepang.
 Affair : hubungan gelap
 Dai Nippon : Angkatan Bersenjata Kekaisaran Jepang
 Sang Amaterasu Omikami : Dewi Matahari
 Dokuritsu Junbi Cosakai : Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
 Romusha : kerja paksa
 Syudanco : sebutan untuk seorang komandan PETA (Pembela Tanah Air)
 Kaigun : Angkatan Laut Jepang
 Gunseibu : Koordinator Pemerintahan Militer dimana masing-masing Gunseibu dipimpin oleh seorang Gubernur
 Saiko Shikikan : Pembesar Bala Tentara Jepang di wilayah Hindia Belanda dengan jabatan sebagai Panglima Tentara
 Eskader Nanyo : sebutan dari Armada Selatan ke-2 yang bermarkas di Surabaya.
 Under Estimate : sebelah mata , tidak proporsional, pandangan yang berat sebelah
 Jugun Ianfu : para perempuan yang dipaksa untuk menjadi pemuas nafsu para serdadu Jepang
 Syu : karesidenan
 Syucokan : Koordinator Pemerintahan di Tingkat Karesidenan, dimana Pejabat Syucokan setara dengan jabatan residen pada masa Pemerintahan Hindia Belanda.
 Kawat Marsekal Terauchi : surat kawat rahasia dari Panglima Angkatan-angkatan Darat Selatan di Saigon kepada Marsekal Terauchi tentang persiapan-persiapan kemerdekaan di Indonesia
 To-Indo : Hindia Belanda, India Timur, Indonesia
 Dumping : taktik tameng
 SEAC : South East Asia Command, Komando Sekutu Asia Timur
 Gunseikan : Petinggi Gunseibu
 Bell Boy : nama bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima oleh Sekutu pada 6 Agustus 1945
 Akeido : ilmu bela diri Jepang yang menekankan keterampilan dan ketangkasan menggunakan dua pedang, merupakan perpaduan dari seni bela diri Jiu Jit Tsu dan Giu Mit Tsu, berkembang sekitar abad IVIII dimana waktu itu Jepang sedang memasuki masa pembaharuan dan modernisasi (zaman itu terkenal dengan istilah Restorasi Meiji)
 Kendo : Merupakan olah raga bela diri tradisional Jepang, alat bantu atau senjata yang digunakan adalah pedang kayu.
 Chuo Sangi In : Dewn Perwakilan Rakyat bentukan Pemerintah Pendudukan Jepang
 Keirei : Menundukkan kepala, membungkukkan badan, tanda hormat atau takzim, merupakan bagian dari tatakrama dari orang yang kedudukannya lebih rendah ke yang lebih tinggi, orang yang lebih muda ke yang lebih tua, dst.; sering digunakan hanya sebagai basa-basi dalam etiket pergaulan untuk menunjukkan budi pekerti dan sopan santun, sering pula digunakan dalam ritual religi sebagai bagian dari tata krama ketika berada di tempat suci atau sebelum maupun sesudah melakukan mokto.
 Geisha : Wanita penghibur / pekerja seks komersil
 Sendenbu : Kantor propaganda tentara Jepang.
 Jawa Hokkokai : Kebaktian Rakyat Pulau Jawa.
 Bushido : Semangat hidup yang sedemikian tinggi dan dahsyat.
 Rikugun : Angkatan Darat Jepang
 Kamikaze : Barisan berani mati, sejumlah perwira Angkatan Udara yang diorganisir oleh Angkatan Perang Jepang dengan tugas menjatuhkan diri dengan membawa pesawat berisi bom di atas pos-pos penting atau kapal perang milik musuh.
 Harakiri : Bunuh diri, secara sukarela mengakhiri sendiri hidup untuk menghindari jatuhnya kehormatan, akibat terhina, gagal dalam suatu hal, atau menghindari aib.
 Fujiyama : Gunung Fuji.
 Daimyo : Tuan tanah
 Kuil Himeji : Sebetulnya bukanlah sebuah kuil, melainkan bekas puri atau istana seorang daimyo ataupun shogun pada era sebelum zaman Toranaga / Ieyasu Tokugawa.
 Shogun : Para pimpinan teringgi dictator militer pada era sebelum masa Toranaga
 Restorasi Meiji : Zaman pembaharuan, dimana pemerintahan imperium Jepang membuka kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat Jepang untuk berinteraksi dengan bangsa-bangsa asing, memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dan merekonstruksi kembali sistem pemerintahan dengan mengkombinasikan unsur-unsur lama dengan yang modern.
 Mokto : Mengheningkan cipta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar