rss
twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Rabu, 15 Desember 2010

Deja Vu All Over Again


Lembayung senja masih memeluk ufuk langit sebelah barat, dan aku masih terantuk2 di tepian sungai kotor, berjalan terhuyung2 menanggung berat pasir yang akan kunaikkan ke tepian. Sebentar lagi gelap, aku tahu itu, tapi hari ini belum penuh sepuluh ribu aku hasilkan dari perasan keringatku. Rasanya otot-2ku berteriak memprotes beban yang terlalu banyak ditanggungkan ke mereka, tapi pemberontakan itu segera dipadamkan oleh kebijaksanaan otakku yang masih ingin mengangkat dan mengangkat pasir untuk memenuhi tugas hari ini mendapatkan satu lembar uang puluhan ribu. Si Ani, anakku satu2nya yang sekarang masih duduk di bangku SMA membutuhkannya untuk membayar uang SPP yang telah menunggak beberapa bulan. Bukan saja kewajiban ini menyiksa badanku, tetapi juga menyiksa batinku, ibu macam apa aku ini yang tak mampu menyekolahkan anaknya, seorang anak yang pandai dan berbakat, yang rela setiap pulang sekolah berjualan kue di terminal. Ani hanya butuh beberapa lembar ribuan lagi untuk dapat mengikuti test semester. Sudah berbulan2 ini aku lihat Ani juga bekerja keras untuk mendapatkan uang untuk sekolahnya, dan memang sebagian besar uang itu sudah didapatkannya, dan hanya sisa yang kurang saja yang masih aku harus dapatkan hari ini juga, atau kalau tidak Ani tidak akan mendapatkan kartu ujian.
 
Aku lihat para laki2 yang juga bekerja seperti aku sudah mulai mandi dan tertawa2 riang dengan yang lain, mereka akan sebentar lagi pulang. Aku tahu ini adalah pekerjaan berat, bahkan bagi para laki2 itu, tapi tentunya lebih berat lagi bagiku. Mereka para laki2 itu menggunakan pundaknya untuk mengangkat pasir dalam dua keranjang, yang berarti dua kali lipat dari yang kuhasilkan karena aku hanya menggunakan keranjang yang kugendong. Tapi begitulah, aku diciptakan oleh Tuhan dengan tenaga yang tidak terlalu besar,  untuk mengangkat satu keranjang saja nafasku sudah memburu, apalagi untuk mengangkat dua keranjang.Gelap sudah mulai mewarnai bumi manusia ini, tinggal beberapa keranjang lagi dan selesailah tugasku untuk sekedar membahagiakan Ani memperoleh kartu ujiannya, tempat penambangan pasir sudah mulai sepi, tinggal ada beberapa mandor pasir saja yang lalu lalang memberi hasil jerih payah para penambang.
 
Tubuhku sudah lemas, tinggal satu keranjang lagi, dengan langkah agak kupercepat aku segera turun dengan keranjang di gendonganku, setelah sampai di bawah aku segera memenuhi keranjang itu dengan pasir, sekop demi sekop pasir aku masukkan ke ranjang. Dengan tenaga yang tersisa segera kugendong keranjang penuh pasir itu, perutku terasa mual2, memang aku hanya makan sedikit sekali tadi siang, karena yang terpikir hanyalah Ani anak satu2ku itu. Aku semakin bersemangat untuk segera menyelesaikan keranjang terakhirku, kukerahkan seluruh tenagaku untuk naik tapak demi tapak, brukkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk........................semua gelap, kunang2 yang tadinya tiada kini berhamburan mewarnai langit dan penglihatanku.
 
Begitu aku tersadar, kurasakan pegal2 di sekujur tubuhku, pening di kepalaku terutama kurasakan sangat menyiksa, aku pun pelan2 membuka mataku, pertama yang kulihat adalah Ani dengan wajah seperti kelelahan dan kurang tidur, setelah agak lama aku pun sadar, aku tidak di rumah, beberapa ranjang berwarna putih berjejer di ruangan ini, dan dari ujung ke ujung berlalu lalang para suster memeriksa pasien. Yah aku di rumah sakit, lama kelamaan ingatanku mulai pulih, dan kejadian sore menjelang malam itu semakin kuingat. Segera kubelai rambut Ani yang hitam legam, Ani tersenyum getir, dan kulihat air mata meleleh dari matanya yang binar, tapi dia segera menghapusnya dengan tangan.
 
" Ibu, ibu.....ini Ani ibu......Ibu di rumah sakit sekarang, kemarin ibu jatuh dari jalan setapak di penambangan pasir, Ibu masih merasakan sakit...?"
 
Aku mengangguk pelan, kata2 masih belum meluncur dari mulutku, terasa agak sakit bibirku untuk kubuka, tapi kupaksakan...
"Ani, bagaimana Ibu bisa sampai di sini..?
"Waktu itu Ibu pingsan , dan orang2 membawa Ibu ke rumah sakit."
 Kita tidak punya uang untuk membayar biaya rumah sakit Ani, sedangkan kau harus sekolah sebentar lagi"
Tiba2 dari arah pintu datang suamiku, bapaknya Ani.., dengan wajahnya yang sudah memerah...dia menghampiri kami.
"Heh, anak dan ibu tak tahu diri, kenapa kalian di sini, tidak tahukah kalian kalau kita ini orang tidak punya, kalau sakit tidak perlu ke rumah sakit, hayo pulang...., sakitmu pasti akan sembuh sendiri.", sambil bilang begitu dia menarik lenganku dan mencabut selang infus yang masih menempel di lenganku. Bau alkohol menyeruak ke mukaku. Aku segera ditariknya keluar dari kamar itu. Ani berteriak2 dan menangis ketakutan. Para suster yang memeriksa pasien lainnya hanya bisa bengong menyaksikan kejadian itu. Aku terus diseret melalui lorong2 panjang rumah sakit, sesampai di tepi jalan, suamiku langsung menuju ke tukang becak dan menaikinya. Aku yang masih merasakan sakit di sekujur tubuhku diam saja, hatiku menangis, cuma tidak keluar air mata, mungkin sudah habis, setelah sekian lama kucurahkan.
"Ani, kau pulang jalan kaki saja, biar kita naik becak"
 
Sesampai di rumah aku langsung dihajar habis2 an oleh suamiku, dijambak rambutku, ditendang, dan aku pingsan lagi.
 
Dalam pingsanku, kubertemu ibuku,sedang duduk bersama beberapa wanita. Kuberjalan mendekat,dan duduk bersimpuh bersama mereka. Aku tidak kenal mereka semua kecuali ibuku. Kupandangi wajah mereka satu2 persatu, oh ada satu yang rasanya kukenal, karena wajahnya yang keibuan itu selalu tampak agung, gurat2 wajah pejuang emansipasi...ya dia Raden Ajeng Kartini. Belum sempat aku mengangguk tersenyum, dia sudah mengulurkan tangannya memperkenalkan diri. Tangannya dingin, tapi auranya begitu hangat, apalagi dengan wajahnya yang bulat itu.
Kulihat lagi di sampingnya, tak kukenal sama sekali wajahnya. Dia tersenyum, tak kalah agung dari Kartini, membelai rambutku sejenak, dan membisikiku.
 
"Aku Hawa, ibu segala bangsa, ikutlah bersama kami"
Aku terhenyak, di luar segala bayanganku selama ini, Ibu Hawa ternyata berkulit hitam legam, lebih tinggi daripada manusia pada umumnya, dan berambut kriting. Pertanyaan demi pertanyaan menggelayut di otakku, tapi aku tidak berani mengungkapkannya. Akupun mengikuti pembicaraan antar generasi itu, jarak sejarah yang ada seakan terjembatani.
"Jaman telah memposisikan kita secara tidak adil, mitos bahwa kita terbuat dari tulang rusuk laki2 telah merasuk sedemikian rupa, dan mayoritas manusia mempercayainya. Dan dari situ merembet ke segala struktur budaya masyarakat, kita sebagai kaum wanita banyak dirugikan",  Ibu Hawa membuka pembicaraan dengan kalimat yang membikin detak jantungku berdegup keras. Apakah mitos yang juga aku percayai itu bohong, bukankah itu tertera di kitab2 suci. Segudang tanya kembali menyelinap di otakku, tapi aku tidak berani bertanya.
" Tapi apa yang harus kita lakukan Ibu?" , ibuku bertanya dengan lembutnya, khas orang Jawa yang memang terbiasa dengan hirarki.
" Apapun produk sejarah yang ada sekarang ini, yang bersumber dari mitos yang secara tidak sadar telah menjadi pola pikir kita, kita harus lawan. Jangan sampai kita dengan sukarela menerimanya."
" Tapi kita berhadapan dengan budaya dan agama Ibu, sebuah kekuatan yang tidak begitu saja bisa kita lawan. Karena selama ribuan tahun terbentuk dan mengakar", Kartini mencoba memberi tanggapan atas pendapat Ibu Hawa.
" Berat memang, tapi bukan berarti tidak bisa. Struktur pemikiran masyarakat harus kita rombak, dari sebuah struktur yang menganggap budaya dan agama adalah segala2nya, menjadi sebuah struktur yang menjadikan budaya dan agama sebagai subsistem ilmu pengetahuan. Dengan demikian budaya dan agama adalah kajian alternatif, bisa dikritisi dan disesuaikan dengan perkembangan zaman, tanpa mengurangi nilai2 universalnya."
" Aku tidak mengerti Ibu, bukankah agama merupakan pemikiran yang sudah final, segala sesuatu sudah ditetapkan hukumnya..?, aku mencoba bertanya, sebelum aku bertambah bingung. Sungguh, aku baru kali ini mengikuti diskusi berat seperti ini. SD sebagai pendidikan terakhirku hanya menyisakan keahlian membaca dan sedikit menulis surat, lebih tidak.
" Pemikiran agama harus kita bedakan dengan agama, agama harus kita pandang sebagai nilai2 universal yang hampir setiap manusia menyetujuinya, misalnya pembelaan terhadap kaum tertindas, pembagian kesejahteraan yang adil, kesetaraan antara pria dan wanita, dsb. Sedangkan pemikiran agama sebagai pengembangan dari agama itu sendiri pasti akan terpengaruh oleh sosio-kultural masyarakat. Dan sosio-kultural masyarakat akan berubah dari jaman ke jaman, jadi apa yang telah disepakati sebagai yang terbaik di masa lalu, bukan berarti yang terbaik di masa sekarang, karena background-nya pun jelas berubah"
" Ibu Hawa, apa yang kita butuhkan untuk mewujudkannya..?" Kartini tampaknya sangat tertarik dengan topik diskusi, berbinar2 matanya.
" Ribuan wanita seperti kamu Kartini, kalau perlu jutaan, seperti kamu juga, hanya kamu harus belajar lagi, tidak perlu ke sekolah kalau kau tak punya uang, banyak bahan belajar di perpustakaan kalau kau mau.", tatapan mata Ibu Hawa menuju arahku, aku malu, aku yang lahir ratusan tahun setelah mereka, ternyata mempunyai jarak sejarah yang berbanding terbalik. Semestinya aku lebih pintar dari mereka.
Senyum itu mengantarkan aku bangun lagi, tiba2 sakit bekas tamparan dan tendangan suamiku datang lagi. Tiba2 pula semangatku menjadi membara, aku harus berbuat sesuatu untuk memperbaiki kehidupanku. Malam itu aku berpikir keras, bertanya kepada diriku sendiri, apa yang harus kulakukan untuk masa depanku dan Ani terutama.
Besoknya, niatku sudah mantap, aku ingin bercerai dari suamiku, aku tak mau punya suami yang selalu menindas, yang memeluk botol2 alkohol setiap harinya, yang tak urung menghancurkan masa depan Ani, harapanku di masa depan.
 
Syukur pada TUhan, permintaan ceraiku dikabulkan setelah beberapa minggu mondar-mandir di KUA. Semua biaya perceraian ditanggung suamiku (sudah menjadi mantan sekarang).
Akhirnya malam ini aku bisa tidur dengan nyenyak untuk pertama kalinya.................
Aku, Ani, Ibuku, Ibu Kartini, dan Ibu Hawa berada di pendopo itu lagi...., membentuk lingkaran dan masing2 tangan kami saling memegang, Ibu Hawa meminta mata kami untuk dipejamkan......
Layar2 dari waktu ke waktu terbuka, kami membagi duka, ternyata penindasan itu ada dari masa ke masa, berulang..berulang....dan berulang...
 
 
cerpen ini kupersembahkan untuk anak angkatku :
Rumiyati (13 th).
Lanjutkan uluran tangan ini kepada semua yang punya hati, anakku.....
Jangan Menyerah.............Tuhan Bersama Para Pemberani.....!!!!!!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar