rss
twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Rabu, 15 Desember 2010

Cinta dan Kekuasaan


Cinta, Kuasa, dan Kekuasaan



Oleh Syafi' Alielha

BANYAK orang berkata dan meyakini bahwa dirinya mencintai orang lain. Pecinta mengatakan bahwa dirinya mencintai kekasihnya. Suami mengatakan bahwa ia mencintai istrinya. Guru-guru mengatakan bahwa mereka mencintai murid-muridnya. Para orangtua mengatakan bahwa mereka mencintai anak-anaknya. Dan negara juga mengatakan bahwa ia sangat mencintai rakyatnya.
Sampai sekarang, kita tidak tahu apa arti sesungguhnya dari kata cinta dan mencintai. Para filsuf menafsirkan dan menjelaskannya dengan berbelit-belit, yang justru membuat kita kebingungan. Maka tidak heran jika kemudian setiap orang memilih untuk menafsirkan sendiri kata tersebut. Dengan cara itu, setia orang punya penafsiran sendiri tentang cinta, tanpa harus terkungkung oleh logosentrisme definisi cinta yang dibuat oleh mereka kaum intelektual.
Dari common-sense masyarakat, cinta dapat dipahami sebagai sebuah rasa perhatian dan kasih sayang terhadap yang lain. Cinta adalah pancaran perdamaian, persahabatan, keakraban, kepedulian terhadap sesama. Dari pemahaman yang sederhana dan simplistis ini, cinta dapat dimasukkan dalam kerangka pembentukan peradaban yang manusiawi, peradaban yang menjamin hak untuk mencintai dan dicintai, memperhatikan dan diperhatikan, mempedulikan dan dipedulikan.
Semua agama mengajarkan tentang cinta. Rgveda, Atharwaveda dan Yajurveda dalam Hindu serta Bible dalam Kristen banyak mengajarkan tentang pentingnya cinta terhadap sesama. Begitu juga dengan Budha dan Islam. Dalam sebuah Hadist disebutkan bahwa, 'Tuhan tidak akan mencintai seseorang hingga ia mencintai tetangganya (orang lain/sesama) sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri'.
Proyeksi dari cinta bisa macam-macam. Seorang pecinta membahasakan cintanya terhadap kekasihnya dengan cara mengapeli, memperhatikan dan mempedulikannya. Guru membahasakan cinta terhadap murid-muridnya dengan bimbingan dan pendidikan tulusnya. Orangtua membahasakan rasa cintanya terhadap anak-anaknya dengan memperhatikan, melindungi, mencukupi kebutuhan, serta memikirkan masa depan sang anak. Sedang negara membahasakan cinta terhadap rakyatnya dengan pembangunan dan pelayanannya atas kebutuhan rakyat.

***
KEMUDIAN apakah cinta yang begitu agung dan tulus itu sudah terjelma dalam kehidupan sehari-hari? Jawabnya adalah belum. Mengapa? Karena cinta yang selama ini ada masih diwarnai dengan naluri kepemilikan, pengaturan dan penguasaan. Dan itu tampaknya sudah dianggap wajar dan diterima begitu saja (taken for granted).Para pecinta masih banyak yang membatasi ruang gerak kekasihnya dengan berbagai alasan, yang ini bisa membunuh kreativitas serta produktivitas sang kekasih. Para guru masih banyak yang mendiskreditkan muridnya, karena keberanian sang murid dalam melontarkan kritik terhadapnya.
Dalam sistem keluarga, fenomena ini pun sering terjadi. Orangtua mengontrol anak-anaknya dengan begitu ketat dan menekan sang anak untuk mengikuti segala nasihat-nasihatnya, keinginannya, kemauannya, ambisi-ambisinya, tanpa memberi kebebasan kepada sang anak untuk memilih. Maka yang terjadi kemudian adalah tekanan psikologis yang membuat anak teralienasi dari dirinya dan dari apa yang dilakukannya.
Di sini terlihat bahwa pecinta, guru dan orangtua lebih mencintai dirinya sendiri daripada kekasih, murid dan anaknya. Dengan apa yang mereka lakukan, sebenarnya mereka ketakutan jika kuasa dan otoritasnya yang tertanam dalam diri orang-orang yang mereka cintai pudar.
Dalam sebuah sistem kekuasaan, naluri pengaturan dan penguasaan itu tampak semakin jelas. Bahkan jika kita melihat berbagai fakta yang ada, terlihat bahwa unsur kuasa lebih dominan dari unsur cinta. Kita bisa bercermin dengan negara kita sendiri. Negara, yang dalam perkembangannya diidentikkan dengan pemerintah, penguasa, state,memang boleh dikata telah memperhatikan nasib rakyatnya. Namun sayang, proyeksi dari rasa cinta negara itu seringkali tidak sebanding dengan rasa kuasa yang timbul.
Rakyat dikasih makan, tetapi tidak boleh menuntut lebih banyak. Tidak boleh ngomong terlalu banyak tentang ini dan itu, karena tidak sesuai dengan budaya sendiri, tidak boleh berbuat ini dan itu, karena bisa mengganggu stabilitas. Dengan alasan demi kepentingan dan kebaikan rakyat, negara mengatur, mengontrol, menguasai, bahkan menindas, yang semua itu tidak lain adalah proyeksi rasa cinta negara terhadap dirinya sendiri, terhadap kekuasaannya, terhadapstatus-quo.
Dari realitas di atas dapat ditarik satu kesimpulan bahwa cinta yang ada selama ini selalu berbalut erat dengan kuasa. Rasa cinta selalu dibarengi dengan penguasaan, pengaturan, yang justru bisa mengaburkan tentang adanya cinta. Cinta bukan lagi pengorbanan, tetapi tuntutan. Dan jika tuntutan tidak dipenuhi, seringkali terjadi kekerasan, baik kekerasan fisik maupun psikologis, yang sangat bertentangan dengan prinsip dasar cinta yang ramai, penuh kasih dan penuh keadamaian.
Cinta yang terbalut erat dengan kuasa dan dominasi itu oleh Erich Fromm disinyalir sebagai akibat dari pemahaman keliru tentang cinta. Selama ini, cinta dianggap sebagai sesuatu yang dapat dimiliki, yang darinya muncul naluri untuk mengatur dan menguasai. Cinta dalam masyarakat sekarang adalah cinta yang didasarkan pada modus memiliki (to have) dan bukan didasarkan pada modus menjadi(to be).
Yang ada dalam masyarakat sekarang adalah keinginan untuk memiliki cinta, bukannya keinginan untuk mencintai. Dengan modus ingin memiliki (to have) ini, cinta menjadi beku dan tidak membebaskan, karena ada yang menjadi subyek dan ada yang menjadi obyek, ada yang menguasai dan ada yang terkuasai.
Menurut Erich Fromm cinta harus mengandung unsur pembebasan dan pemerdekaan, bukan penguasaan apalagi penindasan. Untuk mewujudkan cinta yang membebaskan ini - Erich Fromm menyebutnya sebagai cinta produktif - harus memiliki elemen-elemen dasar yaitu: perlindungan, tanggung-jawab, penghormatan dan pengetahuan (Erich Fromm, Man for Himself, 1947).
Perlindungan dan tanggung-jawab menunjukkan bahwa cinta adalah sebuah aktivitas dan bukan sebuah nafsu yang olehnya orang terkuasai, dan bukan sebuah pengaruh (affect) yang mana orang terpengaruh olehnya. Dalam perlindungan dan tanggung jawab yang ada hanya kerelaan untuk berbuat dan berkorban, tanpa diwarnai tuntutan untuk diakui, diikuti, ditaati, apalagi ditakuti.
Orangtua yang mencintai anaknya berbuat untuk anaknya tanpa keinginan agar sang anak taat dan patuh kepadanya, mengakui otoritas dan kekuasaannya sebagai orangtua. Negara pun begitu. Negara yang mencintai rakyat adalah negara yang berbuat untuk rakyat, berkorban untuk rakyat, berbicara atas kepentingan rakyat, dan bukan negara yang selalu ingin dipatuhi dan ditakuti oleh rakyat dengan cara menetapkan berbagai peraturan yang tidak memerdekakan rakyat. Pencekalan, pembreidelan serta pelarangan untuk berpendapat dan berserikat adalah watak-watak yang melekat dalam sebuah negara yang tidak mencintai rakyatnya.
Perlindungan dan tanggung jawab adalah unsur pokok dari cinta. Dari situlah cinta dapat dinilai, apakah yang ada memang cinta atau hanya keinginan untuk memiliki dan menguasai. Namun cinta akan membusuk jika hanya didasari pada semangat perlindungan dan pertanggung-jawaban saja, tanpa dibarengi dengan dua unsur lainnya, yaitu penghormatan dan pengetahuan.
Dengan penghormatan, diharapkan cinta akan terbebas dari penguasaan, karena penghormatan menunjukkan pengakuan atas otonomi yang dicintai. Penghormatan diorientasikan untuk mengikis rasa kepemilikan dan penguasaan yang dapat muncul dari aktivitas perlindungan dan tanggung jawab. Ini tidak lepas dari kecenderungan masyarakat - apalagi lembaga kekuasaan - sekarang, yang merasa punya hak ketika sudah berkorban untuk orang lain.
Namun penghormatan akan buta jika tanpa pengetahuan atas yang dicintai. Di sini dituntut adanya sikap jujur dan realistis dalam menyikapi, menghormati dan melindungi yang dicintai. Dalam konteks kebangsaan, ini bisa dikaitkan dengan nasionalisme. Nasionalisme selama ini dipahami sebagai kecintaan dan pembelaan yang membabi-buta terhadap bangsa sendiri, tanpa kejujuran untuk bercermin-diri. Kemunculan nasionalisme yang membabi-buta ini tampak dari ada-nya ungkapan right or wrong is my country. Maka cukup beralasan jika Erich Fromm dalam The Sane Society-nya menyebut nasionalisme sebagai inzes zaman ini, berhala kita, ketidak-sehatan, yang dipuja lewat patriotisme. Patriotisme yang dimaksud Fromm adalah sikap meletakkan bangsa sendiri di atas kemanusiaan, di atas prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan.

***
DARI apa yang terungkap di atas, kita melihat bahwa elemen-elemen dasar dari cinta bisa menjadi dasar bagi terciptanya sebuah kekuasaan yang ramah, adil dan bertanggung jawab. Jika kita disuruh memilih antara kekuasaan yang berdasar cinta dan kekuasaan yang berdasar logika kuasa, maka tentu kita akan memilih yang pertama. Hanya orang-orang 'gila' saja yang akan memilih yang kedua.
Kekuasaan yang berdasar nilai-nilai cinta akan mampu mengayomi rakyat, memenuhi kebutuhan dan kepentingan rakyat. Sedang kekuasaan yang berdasarkan atas semangat naluri kuasa hanya akan menimbulkan kesenjangan, ketidak-adilan, sentralisasi kekuasaan untuk kepentingan golongan, partai, keluarga, bahkan individu.
Kekuasaan yang dibangun di atas semangat kuasa hanya akan menciptakan kekuasaan ala Fir'aun, yang tega membunuh anak-anak bangsanya demi kepentingan dan kelanjutan kekuasaannya. Politikyudzabbihuna abna'akum (menyembelih anak-anaknya sendiri), itulah yang akan terjadi.
Untuk menilai sebuah kekuasaan apakah ia dibangun di atas cinta atau kekuasaan, sebenarnya bisa dengan cara melihat sejauh mana kekuasaan itu dicintai oleh rakyatnya. Jika rakyat masih banyak yang menangis, berteriak, nggerundel dan mangkel, maka kita patut menyangsikan bahwa kekuasaan itu dibangun di atas prinsip cinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar